Kamis, 15 Oktober 2009

Manusia Serigala

Angin semilir selembut jembut selalu,
merajuk menggelitik bulu kuduk.
Badai hadir datang dan menghilang,
ke liang lahat para mendiang.

Awan yang retak,
langit tanpa harap,
tanpa kehilangan mimpi yang masih menetap dalam ratap.

Ketika kebenaran selalu dipersalahkan,
dan kesalahan begitu dibenarkan.
Rimba ini berbicara pada jelaga.
Rimba ini orgasme dalam gejala.

Pasanggiri atau katastropik,
malapetaka atau enigmatik,
seringai Serigala meringkik:

Jika aku mati hari ini,
aku akan lahir kembali besok pagi
Begitulah setiap hari.
Sampai punuk dan bulan bertukar posisi.


Yang dari debu ribuan tahun lalu,
masih tetap datang sampai ini malam,
sampai habis kelam,
sampai puas temaram,
sampai punuk membulan.

Korengan bopeng yang berbekas menyelimuti tubuhnya,
adalah wujud masa lalu.
Tapi raungannya tak pernah jemu,
marahnya untuk sang ibu,
meledakan tanah kelangit menuju.

Awan yang retak,
langit tanpa harap,
membekas bersitan yang baru kemarin tersirat.
Anyir darahnya masih menyengat,
luka itu yang belum sampai membekas masih teringat.

Serigala itu haus dan lapar,
menangis dan marah.
Serigala itu berlari menuju,
ramai dan sepi,
berenang dan terbang,
tak sampai awan,
melompat dan teriak,
di tengah-tengah jalan raya,
hingga semakin terluka.
Kawat-kawat pagar kekuasaan tertancap di perutnya.

Dan Serigala itu meraung lagi:

Tuhan,
aku tak perlu hidup seribu tahun lagi.
Jika aku dapat memeluk bulan pada langit di temaram ini!






Oktober 2009.
-May Rahmadi-

1 komentar: