Waktu itu, mendadak saya diundang oleh teman saya untuk membicarakan seputar rencana diadakannya Bakti Sosial (baksos) untuk korban bencana alam yang belakangan ini terjadi di Indonesia. Bencana alam yang tak pernah terduga, tak pernah terpastikan, untuk kesekian kalinya membuat saya bertanya-tanya tentang makna “tiba-tiba”. Apakah ada sesuatu yang tiba-tiba?
Loyalitas yang Lebih Penting daripada Nyawa.
Setelah beberapa rencana tersusun, obrolan ringan pun dimulai kembali. Seorang teman saya bercerita tentang fenomena meletusnya Gunung Merapi dan kaitannya dengan Mbah Maridjan. Katanya, Mbah Maridjan hanya akan turun dari Gunung Merapi jika diperintahkan turun oleh yang memberikan amanat dan mempercayainya menjadi Juru Kunci dari gunung tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Bagi teman saya, Mbah Maridjan adalah sosok pemimpin yang patut dicontoh karena kesetiaannya pada amanat yang diberikan oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Loyalitasnya terhadap komitmen dan dedikasinya kepada Sang Sultan, membuat dirinya menolak untuk turun menghindari amukan Gunung Merapi meskipun harus merelakan nyawa yang Ia miliki. Ia hanya menyuruh warga sekitarnya turun, sedangkan dirinya sendiri menolak untuk turun sebelum diperintahkan turun oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan Sultan Hamengkubuwono IX itu sudah meninggal 22 tahun yang lalu. Kira-kira itulah yang menjadi alasan teman saya tentang mengapa Mbah Maridjan patut menjadi panutan bagi para pemimpin-pemimpin di bumi ini.
Namun bagi saya, itu adalah hal yang aneh dan tidak masuk akal. Absurd dan irasional. Bagaimana mungkin Ia hanya akan turun dari Gunung Merapi hanya jika diperintahkan oleh “atasannya” yang memberikannya amanat untuk menjadi juru kunci dari Gunung tersebut, sedangkan “atasannya” itu sudah mati? Apakah sebegitu mengakarnya konstruksi sosial yang telah ditanam di benak masyarakat kita – yang mengukur tingkat kepahlawanan seseorang dengan harus menjadi setia pada amanat yang diberikan oleh atasan kita? Karena bagaimanapun semua itu hanyalah konstruksi sosial.
Bagi saya, hal yang dilakukan oleh Mbah Maridjan itu mirip seperti apa yang telah dilakukan oleh Ayahnya Nabi Ibrahim – menyembah apa yang telah dibuat oleh manusia – yang teralienasi karena patung buatannya sendiri. Tapi meski begitu, Mbah Maridjan ataupun Ayah Nabi Ibrahim adalah seorang manusia.
Bencana Alam, Ulah Siapa?
Beberapa waktu yang lalu, kabarnya seorang Menteri kita yang sekarang, beropini tentang bencana alam yang terjadi di Indonesia. Katanya, bencana alam di Indonesia ini disebabkan karena hal-hal porno yang semakin merebak di Indonesia. Argumennya begitu jelas dan tendensius meskipun tidak masuk akal.
Saat itu, teman saya yang lainnya ikut bercerita tentang apa yang terjadi dibalik amuk Gunung Merapi, marah bumi Wasior, dan Tsunami yang ternyata masih juga haus nyawa di Mentawai. Ia berpendapat, bahwa kita telah terlalu banyak dosa dan wajar kalau “alam” marah.
Saya tak banyak melihat perbedaan antara pendapat teman saya dan seorang Menteri kita. Di poin ini, saya seperti melihat ke masa lalu. Masa di mana ilmu pengetahuan belum berkembang. Masa di mana jutaan pertanyaan menakutkan dan menggelisahkan manusia, harus terjawab. Adalah masa di mana manusia percaya bahwa petir disebabkan karena kemarahan para dewa. Atau penyakit kulit adalah kutukan dari entah siapa yang entah di mana.
Semua kepercayaan itu adalah jawaban di masanya. Jawaban yang setidaknya menjawab banyak pertanyaan yang menggelisahkan manusia sebelum ilmu pengetahuan berkembang. Dan jawaban-jawaban serupa itu, saya temui di pendapat teman saya dan seorang Menteri di Negara ini.
Namun yang terpenting bagi semua korban bencana alam yang terjadi di bumi kita adalah, “Mereka membutuhkan apa yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan!”.
(May Rahmadi)
2 November 2010.
disebaliknya banyak tersingkap apa yang kita terlepas pandang
BalasHapus