Senin, 11 Oktober 2010

TAP MPRS No. XXV Tahun 1966: Sebuah Warisan Orde Baru yang Selamanya akan Hidup

Pada masa Orde Baru, warga Negara lebih dianggap sebagai sesuatu yang harus ditertibkan. Warga Negara tak dipercaya untuk memerintah dan mengatur dirinya sendiri. Pandangan semacam itu, tentu sangat dipengaruhi oleh paradigma-paradigma lama yang pernah ada. Namun, selepas runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Indonesia dengan gegap gempita menyambut datangnya sebuah “era yang tercerahkan”. Era yang katanya terletak sebuah “kebebasan” di dalamnya.

Sejak saat itu, demokrasi mulai dimaknai. Demonstrasi, protes, dan pergerakan massa menemukan titik normalisasinya. Demokrasi yang dimaknai oleh segelintir elit, menegaskan wujudnya pada partai-partai dengan menggunakan embel-embel demokrasi di belakangnya. Demokrasi telah mewujud sebagai partai. Demokrasi telah mewujud sebagai nama rejim. Demokrasi telah terwujud dan termakna/tercitrakan pasca runtuhnya Orde Baru.

Namun pada dasarnya, suatu pemerintahan baru tidak dapat dengan mudah membuang “warisan” dari pemerintahan lamanya. Hal itu terwujud pada TAP MPRS no. XXV tahun 1966 – tentang pelarangan penyebaran ajaran Komunisme, Leninisme dan Marxisme – yang masih eksis sampai saat ini.

Pada bukunya yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, John Roosa mencoba menjelaskan tentang keadaan rill pada saat kejadian bersejarah dan penuh darah itu. John Roosa menemukan fakta-fakta baru di luar pemahaman masyarakat awam tentang kejadian G30S. Roosa menyebutkan adanya indikasi praktek tangan besi yang dilakukan oleh Suharto sebagai sebuah tindakan untuk melawan musuh politiknya – dalam hal ini, PKI – demi mendapatkan jatah pada pemerintahan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, Roosa menyebutkan bahwa fenomena G30S adalah sebagai kudeta yang dilakukan Suharto terhadap pemerintahan lama.

Suharto telah membuat berbagai macam “fakta-fakta palsu” di masyarakat, lewat kekuasaannya mengendalikan media dan kurikulum Sekolah. Sebagai contoh, Di sekolah, kita mendapatkan pengetahuan bahwa PKI telah menculik, menyiksa – mencungkil mata –, dan melakukan kekerasan “tidak bermoral” kepada para Jendral-jendral besar – yang pada akhirnya di masukan ke Lubang Buaya. Pada masa Orba, siswa-siswi Sekolah Dasar seperti memiliki kewajiban untuk menonton film tentang pemberontakan itu. Film yang disutradari dan dirancang dengan apik demi sebuah usaha menjadikan kebenaran partikular diakui sebagai kebenaran universal. Inilah salah satu “fakta palsu” yang dimasifikasi peredarannya oleh Suharto dan para pendukungnya.

Kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada masa G30S. Kenyataan yang asli, hanya diketahui oleh mereka yang secara langsung berpartisipasi dalam kejadian tersebut – termasuk Suharto dan partisipannya. Maka, kita tidak pernah tahu kebenaran sesungguhnya tentang kejadian tersebut. Sementara itu, kita terus dicekoki oleh kebenaran partikular (kebenaran yang dimaknai secara sepihak) dengan bentuk-bentuknya yang paling sempurna seperti media massa, dan buku-buku pelajaran. Alhasil, kenyataan pada kejadian G30S yang sesungguhnya, kini telah tersimbolkan dan tercitrakan oleh sebagian pihak.

Hari ini, kisah-kisah kebenaran partikular semacam itu, masih banyak yang menggunakan dan mempercayainya. Bahkan tragisnya, benar-benar telah menjadi suatu kebenaran universal. Artinya, Suharto telah benar-benar sukses dalam membangun opini publik lewat stigmatisasi kepada lawan politiknya. Konsekuensinya yang harus di terima sampai saat ini adalah, anti-pati Negara terhadap apa yang disebut sebagai “komunisme”.

Dengan kebenaran partikular yang sudah mengakar di setiap kepala masyarakat banyak, maka mustahil jika komunisme di Indonesia akan hidup kembali. Mungkin, akan hidup dengan nama-nama lainnya. Tapi kemungkinan itu sangat kecil jika mengingat sistem kapitalisme (dengan senjatanya: hukum) telah mendarah daging di kepala kita. Setidaknya telah menjadi “nyawa” bagi mereka yang memiliki wewenang atas berbagai macam keputusan.

Mungkin ada berbagai macam cara demi mencerahkan pandangan orang tentang peristiwa sebesar G30S. Tentu salah satunya dengan menggunakan paradigma lain seperti yang ditawarkan oleh John Roosa. Namun sampai saat ini, tesisnya yang telah dibukukan itu masih ada di dalam daftar buku-buku terlarang. Memang, dari judulnya saja yang tidak memakai kata “PKI” di belakang kata “G30S”, sudah bisa terlihat bahwa John Roosa seperti ingin menegaskan bahwa dalang “peristiwa besar” itu bukanlah PKI. Karena TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 masih juga eksis sampai sekarang, maka sampai kapanpun Suharto akan terasa tetap “ada” dan berpengaruh meskipun jasadnya telah menjadi bangkai.

12 Oktober 2010.

1 komentar:

  1. Hmm,
    Sang Anumerta?
    *bolak balik Buku Merah Skenario Berdarah lagi..

    BalasHapus