Rabu, 29 September 2010

Pasrah dalam Hasrat (Sebuah Cerita yang Diadopsi dari Mimpi)

Catatan: cerita ini adalah cerita khayalan yang diadopsi dari mimpi seorang teman perempuan saya. Saya kira, dia lebih dari seorang pimikir. Karena memang ia adalah seorang penghayal. Penghayal kelas keras. Jauh berbeda dengan saya yang tidak banyak mengerti bagaimana cara menghayal. Untuk itu, saya ucapkan terimakasih untuk @dursala atas kebersediaannya menceritakan mimpinya dengan tulisan kepada saya, dan untuk saya? Ia, yang belum juga lelah membagi cerita rekonstruktifnya kepada saya. Dan telah bersedia memberi nafas untuk blog ini, yang saya kira sudah cukup lama mati.




Siapa yang bilang aku harus bercinta dengan sepasang bibir yang basah dan sepasang mata yang penuh dengan gairah? Terakhir ku melihat nafsu, ia tak lagi menempel pada garis rahang yang kaku nan kuat ataupun garis dada yang terbentuk. Ia ada dalam kata dan pancaran kepasrahan.


Hari ini Carol tak kunjung tiba. Ku menunggunya dalam kamar rahasia kami yang terletak di belakang garasi rumahku. Dulunya gudang, sekarang menjadi tempat penuh tumpukan lukisan, oretan, buku, dan foto kami berdua. Carol, hari itu, katanya tak enak badan. Suaranya terdengar di sisa-sisa darah bercinta kami di gudang itu. Cakar. Carol senang mencakar. Dan hari ini kurasa cakar itu tak bisa kurasakan.


Ku duduk di antara tumpukan buku dongeng yang kami buat. Ku membukanya satu per satu. Ah, betapa Carol senang dengan warna pastel dan manisnya wajah peri. Sementara aku hanya menoreh kata di dalam gambarnya. Dan ku menulis: “Aku ingin kamu di sini, wahai peri.”


Ketika ku mengagumi karya Carol yang membawa mimpi dan harapan, ia datang. Seseorang yang ku ketahui jauh dari apapun yang manis. Jauh dari Carol.


“Carol pergi, feb?” ia bertanya dengan kepala setengah masuk ke gudang itu.

“Hm. Belum datang dia. Katanya tak enak badan.”


“Boleh aku masuk ke ruang rahasia kalian yang tidak lagi rahasia ini?” pertanyaan dan cengir.


Carol tidak tahu bahwa selain kami berdua ada dia yang mengetahui keberadaan kamar ini. Ku sengaja memberitahunya karena bagaimanapun ruang ini sepenuhnya milikku. Bukan milik Carol. Carol hanya menumpang berkarya dan berbagi nafsu...melepas cinta. Tapi akulah yang menentukan siapa yang boleh masuk dan tidak. Dan hanya dua orang: Carol dan Dia.


“Masuk aja, may.” Di kepalaku masih ada pertanyaan mengapa ia kuizinkan masuk.

May masuk dan melihat sekeliling ruangan. Furniture yang kubuat dari karton bekas, karpet dengan selimut dan bantal, laptop, dan tumpukan buku, serta karya Carol dan aku. Diambilnya satu buku dongeng yang telah rampung kami buat: “Anna”.


Entah bagaimana tahu-tahu May sudah di sampingku, berbaring bersama di dekat tumpukan buku. Ku meliriknya dan ku lihat May mengagumi gambar Carol. Ku tarik selimut dan lekas mengambil jarak darinya.


“Mau tidur, Feb?”


“Iya, May. Baca-baca aja dulu klo mau. Aku istirahat bentar.”


Dan ku lihat itu. Tengkuk itu. Sialan!


Mungkin karena tengkuk itu aku mengizinkan ia masuk. Mungkin saja. Mungkin karena garis lehernya yang menggelap di sekitar rambutnya tumbuh. Mungkin saja. Mungkin juga karena tarikan tegas nan gagah garis lehernya yang menuju pundak bagian belakangnya. Mungkin saja.


“Sialan!”


“Kenapa, Feb?”


“Harus kuakui, May. Tengkukmu adalah karya seni, jika Tuhan memang menyenangi seni.” Lalu ku memberikan punggungku padanya. Ku mencoba tidur, tapi sulit.


“Terima kasih”, itu yang kudengar. Selanjutnya ku tahu ia mencoba berdiri, menaruh buku dongeng “Anna”. “Anna itu teman kalian yang waktu itu?”


“Iya...” lalu ku terlentangkan badanku. Punggungku tak lagi untuknya. “Setidaknya Anna membuat kami sadar...ada yang begitu manis dari kecemburuan.” Ada wajah Anna di pikiranku. Ku dirikan badanku, mencoba menghilangkan wajahnya. Wajah cemburunya.


Kini ku duduk tegap. May membelakangiku, mengais-ngais tumpukan buku. Sekilas ku lihat tengkuk itu. Ku berdiri dan membuka pintu gudang, membiarkan cahaya matahari masuk dari bukaannya. Di dekat pintu terdapat kumpulan fotoku dengan Carol. Carol yang tersenyum manis bersamaku yang memeluknya. Carol yang sedih dengan derai air mata terjatuh di telapak tangannya. Carol yang mencakarku dan punggungku memamerkan hasil karyanya. Carol yang tanpa pakaian dan aku yang telanjang. Ku lirik sekilas foto-foto tersebut.


Ketika ku membalikkan badanku, May sedang melihat lukisan Carol. Ia berdiri tegap membelakangiku. Sialan! Tengkuknya mengapa harus begitu sering diperlihatkan?! Aku sungguh tergoda ingin menyentuh atau sekedar memotretnya. Ku ambil kamera digital dan jariku siap mengambil setiap garis tengkuknya. Saat jari telunjukku hendak menekan tombol capture, saat itulah May membalikkan badannya. Ketahuan.


“Apa yang kamu lakukan?”


“Memotret karya seni?” kamera tidak lepas dari wajahku. Tidak. aku takut rona merah itu terlihat.


“Tengkukku maksudmu?” ia menepis kamera di depan mataku. Dan memegang pundakku.


“I...iya. hehe” jangan. Jangan ketahuan jika dadaku terlalu berdebar.


Lalu ia memutar pundakku dan menyuruhku menunduk kecil. Ku lakukan saja, meski kurasakan aku sedikit bergetar karena takut ketahuan. Takut ketahuan kalau aku menyimpan nafsu untuk garis lehernya. Dia tarik rambutku ke atas dan mengelus tengkukku.


“Apa yang membuat tengkuk seseorang lebih spesial dibanding tengkuk orang lainnya?” dan ia mengecup tengkukku. Kecil dan tak lama.


Kakiku tak kuat menahan dan ku berlutut mengambil buku. Lagi-lagi ku berpura-pura kuat. Ketika salah satu buku dongeng Carol sudah ada di genggamanku, ku rebahkan badanku di atas karpet. May turut merebahkan dirinya, juga dengan buku di tangannya. Kami berdua sok kuat.


Setelah beberapa lama tercekat kekakuan, ku buka pembicaraan, “Apa yang paling indah dari fisik seorang wanita, May?”


“Dari seorang wanita? Bisa apa saja. Dari seorang feby? Ku mencoba memperhatikan tengkuknya, tapi ku rasa bukan itu. Apakah itu masalah?”


“Tidak, kupikir.” Lalu ku mencoba melihat wajahnya. Bukan itu yang kucari.


Tersadar ku perhatikan, ia balik melihatku. Matanya cantik sekali. Sayangnya lagi-lagi bukan itu yang kucari.


“Jika saja ku mengecupmu di sini, apakah Carol akan marah?” ku bertanya dalam hati.


May tersenyum sebentar, entah apa maksudnya. Segera ku berdiri sambil menghembuskan napas keras-keras seolah lepas dari kekakuan yang dengan suksesnya telah diciptakan oleh kami berdua. May juga berdiri. Kami berdua menuju pintu yang setengah terbuka.


Tak sengaja kakiku tersandung dan hal klise itu terjadi. May mencoba menolongku, tapi gagal. Kami berdua terjatuh di atas tumpukan kertas gambar yang setengah berdebu. Seiring kertas itu berserakan, badan May menimpa badanku. Dengan ia di atas tubuku, ia menatapku. Tak lama tatapan itu diiringi kecupan. Tidak dalam dan tidak lama. Tidak nikmat dan tidak ada gairah. Hanya membiarkan nafsu keluar ...pasrah begitu saja.


Tidak kuperlukan cerita selanjutnya karena yang terjadi selanjutnya adalah detik-detik yang terasa begitu lama. Setiap gerakan adalah tarian tanpa keinginan. Kepasrahan dan bukan keikhlasan. Akhirnya, ku mendapatkan foto tengkuk itu tanpa harus bersembunyi. Setelah mendapatkannya hanya ada tawa kecil yang meledek diriku sendiri.


“Lagi-lagi bukan ini yang kucari....tapi bukan main indahnya”






29 September 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar