Kamis, 19 Mei 2011
Tentang Seorang Teman yang Delusional dan Segala yang Tak Harus Mutlak
Apa yang sekolah ajarkan -- matematika, biologi, fisika, dan lain-lain -- tentu tak ada yang tak berguna.
***
Sampai saat ini saya mengira, seorang teman saya, sebut saja "Kadal" (bukan "Mawar", karena ini bukan cerita pelecahan seksual) mengidap delusi. Suatu ketika, tengah malam, di sebuah lapangan, di antara kerumunan yang setengah mabuk, Kadal mendabak berjalan ke tengah lapangan. Ia melihat ke langit. Tubuhnya berusaha diposisikan, dan matanya seperti mencari-cari sebuah kejanggalan. Sontak saya dan teman-teman saya tertawa pada keanehan Kadal. Tapi beberapa dari teman saya, menahan tawa.
Keanehan itu bukan yang pertama. Tentu sudah menjadi hal yang biasa bagi saya dan teman-teman saya. Keanehan Kadal yang selalu mengejutkan, membuatnya selalu berbeda.
Sebelumnya, dalam obrolan yang santai dan penuh tawa, Kadal sering tiba-tiba diam. Memejamkan mata, dan memosisikan badannya seperti meditasi. Entah apa yang sebenarnya dia lakukan. Awalnya, itu menjadi hal yang aneh bagi saya dan teman-teman saya.
Selain itu, pada suatu malam, pernah ada bebunyian dari Layar Tancap yang jaraknya tak jauh dari komplek saya. Dari kegaduhannya, saya mengira itu sebuah film perang. Namun tidak bagi Kadal. Dengan mimik wajah dan intonasi serius, ia menyangka suara-suara itu meneriakan dan mencacimakinya.
Suatu kejadian juga pernah saya alami bersama Kadal. Waktu itu tongkrongan mulai sepi. Saya dan Kadal beranjak pulang. Kira-kira pukul 12 tengah malam, komplek sudah mati, jalanan terasa sepi, hanya ada saya dan Kadal. Di perjalanan pulang, Kadal cerita tentang apa yang ia alami. Tiba-tiba ada suara Kucing mengiauw. Ia mengatakan kepada saya bahwa suara Kucing itu memanggil namanya. Memang, suara Kucing itu samar-samar terdengar seperti memanggil namanya (nama aslinya).
Teman saya juga pernah bercerita kepada saya. Siang hari, saat hujan, Kadal membasahi dirinya. Ia hujan-hujanan. Orang lain menatapnya aneh. Bagaimana tidak, ketika semua orang berusaha mencari tempat berteduh, ia justru membiarkan dirinya dihujani. Lebih lagi, kata teman saya, saat itu ia sambil menatap kelangit.
Itu hanya beberapa cerita tentang keanehannya saja. Masih banyak yang lain.
***
Awalnya adalah ketika ia memiliki seorang pacar. Namun ia juga punya selingkuhan. Entah bagaimana ceritanya, pacar dan selingkuhannya bersekongkol untuk memergokinya. Alhasil, dia tertangkap basah. Pacar dan selingkuhannya memutuskan hubungan dengannya.
Lalu setelah itu, ia merasa ada yang aneh. Dia merasa ada yang aneh dengan hp-nya. Katanya, setiap kali ia menelfon atau ditelfon seseorang, seperti ada yang samar-samar memanggil dan mencacimaki namanya.
Dia selalu menceritakan apa yang ia rasakan itu kepada teman-teman saya. Dengan keraskepala, ia ngotot bahwa hpnya disadap. Teman-teman saya tetap tak percaya. Karena memang bagi saya dan teman-teman saya, suara-suara yang ia rasakan itu tidak ada. Yang ada hanya suara-suara tak jelas yang mungkin karena gangguan sinyal.
Bagaimana mungkin, seorang yang tak memiliki kepentingan dan otoritas apa-apa, hpnya disadap? Namun ia tetap bersikeras pada anggapan awalnya dengan alasan bahwa saudara mantannya pernah ada yang bekerja di perusahan Esia (kartu handphone yang ia pakai). Kemudian saya memberinya ide, "bagaimana kalau lo ganti kartu aja? Kalau suara-suara itu udah ga ada, berarti semua omongan lo itu salah. Jangan kasih tau nomer baru lo ke siapapun!".
Kartunya pun telah diganti. Namun ia masih mendengarkan suara yang sama. Tapi ia tetap membatu. Dengan ngotot, ia berspekulasi lagi, "berarti dia nyadapnya lewat baterai". Aneh memang.
Saya memberinya ide lagi, "gimana kalau baterainya tukeran sama gue?". Memang saat itu saya punya tipe hp yang sama dengannya.
Baterai sudah ditukar, ia tetap merasakan hal yang sama. Tapi ia masih saja berspekulasi, "jangan-jangan dari nomor pada mesin hp?".
Hp saya pun saya korbankan untuk ditukar dengan miliknya sambil mengajukan sebuah pertanyaan, "ganti kartu udah, tuker batere udah, kalo tuker handphone masih sama juga, artinya apa?". Secara mengejutkan dia menjawab, "berarti mistis".
Beberapa hari setelah bertukar hp, dia mengembalikan hp saya. Namun dia masih merasakan suara-suara aneh itu. Sialnya, ia benar-benar menganggap semua itu sebagai ulah "mistis".
***
Sejak itu, ia mulai bertingkah aneh. Ia berguru kesana-kemari. Ia menyebut gurunya adalah "Ustad". Sejak itu pula saya tak mampu menyanggahnya dengan bukti.
Tak jarang saya berdebat dengan durasi yang cukup alot dengannya. Ia selalu bicara tentang kepercayaannya pada hal-hal mistis. Sementara saya coba mengadunya dengan ilmu psikologi yang saya tahu. Pernah saya sarankan untuk menghadap ke psikolog untuk melakukan tes. Namun ia menganjingkannya. Mencacinya. Meremehkannya.
Dengan argumen-argumennya, kadang saya tertawa, kadang jengkel. Kadang lucu, kadang kesal.
Namun di balik tawa, dan kejengkelan saya, di antara lucu dan rasa kesal saya, saya berpikir, di dalam debat saya dengannya, saya seperti melakukan apa yang telah ia lakukan:
1. Dengan argumen-argumen berbasis "ilmu pengetahuan" yang saya tahu, saya seperti menginginkan ia membenarkan pendapat saya. Saya seperti tak beda dengannya. Saya percaya pada ilmu pengetahuan, ia pecaya pada hal-hal mistis. Lalu apa bedanya?
2. Dengan argumen-argumennya yang berbasis mistis, ia mencoba menjajah pola pikir saya dan teman-teman saya yang tak percaya bahwa apa yang ia alami adalah hal mistis. Di sisi lain, saya bersikeras mendebatkannya dengan ilmu pengetahuan. Itu artinya, saya mencoba menginvasi kepercayaannya pada hal-hal mistis dengan sebuah kepercayaan baru bernama "ilmu pengetahuan". Tak ada yang berbeda.
Wajar jika saya mengakui: di dalam debat saya dengannya, saya seperti telah membunuh diri saya sendiri.
***
Lalu, bagaimana dengan ilmu pengetahuan yang kita dapat di Sekolah? Matematika? Biologi? Fisika? Siapa tahu, beberapa tahun ke depan, semua itu menajadi dasar bagi orang-orang untuk melakukan hal-hal desktruktif seperti apa yang dialami ormas-ormas yang berkembang belakangan ini, yang oleh media diberinama "radikalis", "fundamentalis", atau "subversif", atau "sipilis", mungkin.
Namanya adalah "fasis". Barangkali, lebih tepatnya adalah "fasisme ilmu".
Jumat, 20 Mei 2011.
Label:
Perspektif
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sadaaaaaaaap, disadap
BalasHapusAnti-sadap euy.
BalasHapusnyeleneh itu sempat dianggap sebagai sebuah perlawanan, segala yang menyimpang dari aturan dan norma adalah menantang kehidupan mapan dan masyarakat. tapi itu tahun 60an kawan, kalau sekarang, pasti sudah dimasuki rumah sakit jiwa, seperti lelucon yang pernah kudengar, kalau Yesus turun ke bumi lagi, saat-saat sekarang ini, ia pasti sudah dimasuki rumah sakit jiwa.
BalasHapusKemarin, aku juga sempat melihat temanku yang merasa risih dan agak ketakutan ketika didekati oleh seorang anak kecil yang katanya "memiliki keterbelakangan mental". Aku pikir, ada yang mencitrakan orang-orang seperti anak kecil itu sebagai "yang tidak normal" sehingga pola pikir temanku menjadi seperti itu. Ah...
BalasHapus