Senin, 24 Februari 2014

TUBUH DUA ARWAH



(03:30 AM)
KEASINGAN ini berwarna biru. Aku melihat tubuhku satu ranjang bersama seseorang yang sama sekali tak aku kenali. Orang itu memelukku, menggenggam tanganku, dan sesekali mengecupku. Ia nampak merasa tak ada yang aneh dengan semua ini. Sedangkan aku tak sadar telah kali ke berapa ia menghabiskan malamnya di sini.

(03:15 AM)
Nyenyak baru benar-benar nyata di mataku setelah terbangun beberapa kali karena sesuatu yang tak dapat aku mengerti. Aku terbangun dengan sesak di dada dan air mata yang pecah. Pada setiap gelisah itu, aku ingin teriak. Aku ingin menjerit. Tapi entah kenapa aku tak bisa. Aku seperti kehilangan kuasa dan itu terjadi berulang kali. Tubuhku sangat tersiksa. Dan ia hanya bisa menggenggam tanganku keras-keras. Ia tak mengerti apa yang terjadi dalam diriku, persis seperti aku yang tak mengerti mengapa ia ada di sampingku.

(06:10 AM)
Aku mencium bau pagi yang dingin. Jendela kamarku yang memang selalu kubiarkan setengah terbuka, telah membuat cahaya pelan-pelan menyusup dari sela-sela gordyn yang dijilat angin. Lalu aku melihat ke kasur, dan mendapati tubuhku seperti mati. Dan ia belum juga melepaskan tangannya dari tanganku.

(06:45 AM)
Ia terbangun. Aku melihatnya mamandangi puluhan puntung rokok yang memenuhi asbak. Aku juga masih melihatnya membersihkan abu dan beberapa puntung lainnya yang berserak di lantai.

(06:48 AM)
Kemudian aku terbangun. Kini aku benar-benar berada dalam tubuhku. Ternyata aku tak benar-benar mati!

“Kau terlalu banyak merokok,” ia mengatakan.

“…”

“Kau tak bisa begini terus.”

“Iya, mungkin. Mungkin semua karena rokok.”

“Atau, semalam ada yang benar-benar kau pikirkan?”

“Mungkin.”

“Genggam tanganku.”

“…”

“Ceritakan padaku, kini apa yang sedang kau pikirkan?”

“Tanganmu tak dapat memengaruhi segala yang ada di pikiranku.”

“Peluk aku.”

“…”

“Sekarang apa yang kau rasakan?”

“Rasakan? Perasaanku tak akan nyata hanya dengan pelukan.”

“Kau kenapa? Sejak kemarin kita terus bersama. Tapi sekarang kau tak seperti biasa.”

“Kau bohong.”

“Bohong apa?”

“Apakah kau dapat melihat perasaanku?”

“Kau semakin tak seperti biasanya. Perasaan tak bisa dilihat!”

“Lalu, apakah kebersamaan dapat kau lihat? Mengapa kau bilang sejak kemarin kita terus bersama?”

“Kau lupa, sejak kemarin kita saling bergenggam tangan?”

“Tapi kau tak dapat melihat perasaanku.”

“…”

“…”

“Peluk aku.”

“…”

“Sudahlah. Mungkin kau terlalu lelah. Sebaiknya kau tidur lagi.”

***

(15:30 PM)
Burung-burung merpati terbang di atas kepala saya. Beberapa di antaranya hinggap di kabel-kabel listrik. Beberapa lainnya mencari makanan yang terselip di rumput dan batu-batu, di antara kaki orang-orang berisik. Saya duduk sendiri di sebuah bangku taman berwarna coklat pucat. Saya menghayati semua yang terjadi di taman ini. Taman yang selalu ramai dengan ciuman.

(16:15 PM)
Sambil menghisap rokok, saya menyaksikan semuanya. Menyaksikan pergantian terjadi begitu cepat: langit berubah, suara berubah, dan orang-orang berubah. Sesekali saya pejamkan mata saya dan mendengarkan segala suara yang dapat ditangkap telinga. Lalu saya membukanya, melihat semuanya, memandang detil-detil rerumputan, pohon, juga wajah seseorang di ujung mata yang tengah memberi makan burung-burung merpati.

(16:50 PM)
Dia kini duduk di bangku berwarna putih. Dia sendiri. Jaraknya sekitar 10 meter di depan saya. Setelah bermain-main dengan merpati, dia nampak sering termangu, sambil lalu tersenyum. Bisu, kemudian tertawa.

(16:55 PM)
Dia tiba-tiba menoleh ke arah saya. Mata saya tertangkap di matanya. Saya terperangkap.

Saya tak dapat melihat apa-apa, meski mata saya terbuka. Telinga saya juga tak mampu mendengar apa-apa.

Tapi saya mendengar suatu suara. Suara yang tak biasa. Barangkali inilah suara-suara yang paling nyata, suara yang hanya dapat diterima dengan rasa yang hampa.

“Apa yang kamu saksikan dari tadi?” Dia membisik.

“Saya pernah melihatmu. Tak ada yang asing di antara saya dan kamu.”

“Maaf, saya tak mengenalmu.”

“Beri saya waktu sebentar. Saya akan mengingatnya.”

“Maafkan saya.”

“Tidakkah kamu ingat setahun lalu kita bertemu di sebuah café kecil di pusat kota Jakarta?”

“Saya tak mengerti maksud pertanyaanmu. Waktu bagi saya terlalu cepat berganti. Seperti isi kepala yang mudah berubah. Mungkin saya lupa.”

“Isi kepala saya tak ada yang berubah. Waktu itu kamu datang di saat saya sedang mengerjakan sebuah artikel. Kamu meminta sofa dan nama pada saya.”

“Saya benar-benar tak mengingatnya.”

“Lalu kamu memesan teh dan kentang goreng.”

“Saya tak juga dapat mengingatnya.”

“Kemudian kamu bercerita tentang temanmu, yang pada sebuah malam sebelum pernikahannya, tiba-tiba merasa tidak memiliki perasaan apa-apa pada pasangannya. Dan pernikahan tak mampu membuat dadanya gemetar, katamu.”

“Mungkin bukan saya orang yang kamu maksud.”

“Di ujung pertemuan itu, kamu mengatakan satu hal.”

“Apa yang saya katakan?”

“Kamu bilang, kita sebetulnya tidak pernah mengerti apa yang kita rasakan. Kita bahkan tidak pernah memahami apa yang kita pikirkan.”

“Saya tak pernah mengatakan itu pada siapapun. Jangan paksa saya mengingat sesuatu yang tak pernah saya lakukan.”

“Baiklah. Mungkin saya sedang mengada-ngada.”

“Iya. Sebaiknya kita lupakan saja.”

“Hmm... Di taman ini, saya mengamatimu sejak tadi. Apa yang kamu rasakan ketika kamu memberi makan burung-burung merpati itu?”

“Saya hanya merasa bahagia. Kebahagiaan yang tak dapat saya jelaskan.”

“Kamu percaya ada kebahagiaan?”

“Entahlah. Tapi saya hanya percaya pada ketidakabadian. Ketidakabadian yang abadi. Itu kenapa saya ada di sini. Dan merasa bahagia kini.”

“Apa maksudmu?”

“Orang yang pernah kamu temui di café itu, mungkin benar saya. Tapi mungkin juga orang yang hanya mirip saya. Atau barangkali saya yang bukan saya saat ini.”


***

(11:50 PM)
Kini aku sendiri. Hanya ada bantal, selimut, dan lemari. Juga tembok yang selalu mengamati. Kini aku bisa merasakan perasaanku tanpa ada yang mengganggu, tanpa ada yang coba mendisiplinkanku.

Apa yang terjadi dengan dadaku ini? Perasaan yang terbuat dari suara anjing yang mengaum-ngaum-mengonggong. Seekor anjing berwarna coklat yang lidahnya menjulurkan api dan liurnya meneteskan bara. Aku bahkan merasakan bau nafasnya yang panas. Aku mengamatinya dengan seksama. Dan ketika anjing itu menganga, ada semacam cahaya yang melintas di darahku yang hampa. Saat kulihat ke dalam mulutnya, aku membayangkan dapat mengambil salah satu taringnya. Dan taring itu akan selamanya ada dalam genggamanku. Dan aku akan baik-baik saja ketika semua orang melihatnya.

Suara-suara itu kini sudah tak terdengar lagi. Saya coba pejamkan mata saya berkali-kali, dia tetap tak ada. Saya ingin memanggilnya. Tak mungkin dia tak nyata.

Siapakah dia sebenarnya? Mungkinkah saya telah pergi terlalu jauh, dan lupa jalan pulang ke rumah? Kini saya hanya tahu bahwa ada makna yang begitu lapang dan panjang dalam kata “pulang”. Dan selalu ada yang tertinggal di dalam rumah. Tapi, seperti tubuh dua arwah, saya akan selalu merindukannya.





24-25 Februari 2014

1 komentar: