(03:30 AM)
KEASINGAN ini berwarna biru. Aku melihat tubuhku satu ranjang bersama seseorang yang sama sekali tak aku kenali. Orang itu memelukku, menggenggam tanganku, dan sesekali mengecupku. Ia nampak merasa tak ada yang aneh dengan semua ini. Sedangkan aku tak sadar telah kali ke berapa ia menghabiskan malamnya di sini.
(03:15 AM)
Nyenyak baru benar-benar nyata di
mataku setelah terbangun beberapa kali karena sesuatu yang tak dapat aku
mengerti. Aku terbangun dengan sesak di dada dan air mata yang pecah. Pada
setiap gelisah itu, aku ingin teriak. Aku ingin menjerit. Tapi entah kenapa aku tak bisa. Aku seperti kehilangan kuasa dan itu terjadi berulang
kali. Tubuhku sangat tersiksa. Dan ia hanya bisa menggenggam tanganku
keras-keras. Ia tak mengerti apa yang terjadi dalam diriku, persis seperti aku
yang tak mengerti mengapa ia ada di sampingku.
(06:10 AM)
Aku mencium bau pagi yang dingin.
Jendela kamarku yang memang selalu kubiarkan setengah terbuka, telah membuat cahaya
pelan-pelan menyusup dari sela-sela gordyn yang dijilat angin. Lalu aku melihat
ke kasur, dan mendapati tubuhku seperti mati. Dan ia belum juga melepaskan
tangannya dari tanganku.
(06:45 AM)
Ia terbangun. Aku melihatnya
mamandangi puluhan puntung rokok yang memenuhi asbak. Aku juga masih melihatnya
membersihkan abu dan beberapa puntung lainnya yang berserak di lantai.
(06:48 AM)
Kemudian aku terbangun. Kini aku
benar-benar berada dalam tubuhku. Ternyata aku tak benar-benar mati!
“Kau terlalu banyak merokok,” ia mengatakan.
“…”
“Kau tak bisa begini terus.”
“Iya, mungkin. Mungkin semua
karena rokok.”
“Atau, semalam ada yang
benar-benar kau pikirkan?”
“Mungkin.”
“Genggam tanganku.”
“…”
“Ceritakan padaku, kini apa yang
sedang kau pikirkan?”
“Tanganmu tak dapat memengaruhi
segala yang ada di pikiranku.”
“Peluk aku.”
“…”
“Sekarang apa yang kau rasakan?”
“Rasakan? Perasaanku tak akan
nyata hanya dengan pelukan.”
“Kau kenapa? Sejak kemarin kita
terus bersama. Tapi sekarang kau tak seperti biasa.”
“Kau bohong.”
“Bohong apa?”
“Apakah kau dapat melihat
perasaanku?”
“Kau semakin tak seperti
biasanya. Perasaan tak bisa dilihat!”
“Lalu, apakah kebersamaan dapat
kau lihat? Mengapa kau bilang sejak kemarin kita terus bersama?”
“Kau lupa, sejak kemarin kita
saling bergenggam tangan?”
“Tapi kau tak dapat melihat
perasaanku.”
“…”
“…”
“Peluk aku.”
“…”
“Sudahlah. Mungkin kau terlalu
lelah. Sebaiknya kau tidur lagi.”
***
(15:30 PM)
Burung-burung merpati terbang di atas kepala saya. Beberapa di antaranya hinggap di kabel-kabel listrik. Beberapa lainnya mencari makanan yang terselip di rumput dan batu-batu, di antara kaki orang-orang berisik. Saya duduk sendiri di sebuah bangku taman berwarna coklat pucat. Saya menghayati semua yang terjadi di taman ini. Taman yang selalu ramai dengan ciuman.
(16:15 PM)
Sambil menghisap rokok, saya
menyaksikan semuanya. Menyaksikan pergantian terjadi begitu cepat: langit
berubah, suara berubah, dan orang-orang berubah. Sesekali saya pejamkan mata
saya dan mendengarkan segala suara yang dapat ditangkap telinga. Lalu saya
membukanya, melihat semuanya, memandang detil-detil rerumputan, pohon, juga
wajah seseorang di ujung mata yang tengah memberi makan burung-burung merpati.
(16:50 PM)
Dia kini duduk di bangku berwarna
putih. Dia sendiri. Jaraknya sekitar 10 meter di depan saya. Setelah
bermain-main dengan merpati, dia nampak sering termangu, sambil lalu tersenyum.
Bisu, kemudian tertawa.
(16:55 PM)
Dia tiba-tiba menoleh ke arah
saya. Mata saya tertangkap di matanya. Saya terperangkap.
Saya tak dapat melihat apa-apa,
meski mata saya terbuka. Telinga saya juga tak mampu mendengar apa-apa.
Tapi saya mendengar suatu suara.
Suara yang tak biasa. Barangkali inilah suara-suara yang paling nyata, suara
yang hanya dapat diterima dengan rasa yang hampa.
“Apa yang kamu saksikan dari tadi?”
Dia membisik.
“Saya pernah melihatmu. Tak ada
yang asing di antara saya dan kamu.”
“Maaf, saya tak mengenalmu.”
“Beri saya waktu sebentar. Saya
akan mengingatnya.”
“Maafkan saya.”
“Tidakkah kamu ingat setahun lalu
kita bertemu di sebuah café kecil di pusat kota Jakarta?”
“Saya tak mengerti maksud
pertanyaanmu. Waktu bagi saya terlalu cepat berganti. Seperti isi kepala yang
mudah berubah. Mungkin saya lupa.”
“Isi kepala saya tak ada yang
berubah. Waktu itu kamu datang di saat saya sedang mengerjakan sebuah artikel.
Kamu meminta sofa dan nama pada saya.”
“Saya benar-benar tak
mengingatnya.”
“Lalu kamu memesan teh dan
kentang goreng.”
“Saya tak juga dapat mengingatnya.”
“Kemudian kamu bercerita tentang
temanmu, yang pada sebuah malam sebelum pernikahannya, tiba-tiba merasa tidak
memiliki perasaan apa-apa pada pasangannya. Dan pernikahan tak mampu membuat
dadanya gemetar, katamu.”
“Mungkin bukan saya orang yang
kamu maksud.”
“Di ujung pertemuan itu, kamu
mengatakan satu hal.”
“Apa yang saya katakan?”
“Kamu bilang, kita sebetulnya
tidak pernah mengerti apa yang kita rasakan. Kita bahkan tidak pernah memahami
apa yang kita pikirkan.”
“Saya tak pernah mengatakan itu
pada siapapun. Jangan paksa saya mengingat sesuatu yang tak pernah saya
lakukan.”
“Baiklah. Mungkin saya sedang
mengada-ngada.”
“Iya. Sebaiknya kita lupakan
saja.”
“Hmm... Di taman
ini, saya mengamatimu sejak tadi. Apa yang kamu rasakan ketika kamu memberi
makan burung-burung merpati itu?”
“Saya hanya merasa bahagia.
Kebahagiaan yang tak dapat saya jelaskan.”
“Kamu percaya ada kebahagiaan?”
“Entahlah. Tapi saya hanya
percaya pada ketidakabadian. Ketidakabadian yang abadi. Itu kenapa saya ada di
sini. Dan merasa bahagia kini.”
“Apa maksudmu?”
“Orang yang pernah kamu temui di
café itu, mungkin benar saya. Tapi mungkin juga orang yang hanya mirip saya.
Atau barangkali saya yang bukan saya saat ini.”
***
Kini aku sendiri. Hanya ada
bantal, selimut, dan lemari. Juga tembok yang selalu mengamati. Kini aku bisa
merasakan perasaanku tanpa ada yang mengganggu, tanpa ada yang coba
mendisiplinkanku.
Apa yang terjadi dengan dadaku ini? Perasaan yang terbuat dari suara
anjing yang mengaum-ngaum-mengonggong. Seekor anjing berwarna coklat yang
lidahnya menjulurkan api dan liurnya meneteskan bara. Aku bahkan merasakan bau
nafasnya yang panas. Aku mengamatinya dengan seksama. Dan ketika anjing itu
menganga, ada semacam cahaya yang melintas di darahku yang hampa. Saat kulihat
ke dalam mulutnya, aku membayangkan dapat mengambil salah satu taringnya. Dan taring
itu akan selamanya ada dalam genggamanku. Dan aku akan baik-baik saja ketika
semua orang melihatnya.
Suara-suara itu kini sudah tak
terdengar lagi. Saya coba pejamkan mata saya berkali-kali, dia tetap tak ada. Saya
ingin memanggilnya. Tak mungkin dia tak nyata.
Siapakah dia sebenarnya? Mungkinkah saya telah pergi terlalu jauh, dan lupa
jalan pulang ke rumah? Kini saya hanya tahu bahwa ada makna yang begitu lapang dan panjang dalam
kata “pulang”. Dan selalu ada yang tertinggal di dalam rumah. Tapi, seperti
tubuh dua arwah, saya akan selalu merindukannya.
24-25 Februari 2014
nyasar ke blog ini, eh ada cerpen. seru juga.. :D
BalasHapus