Cerpen saya di tahun 2009. Baru saya temukan lagi.
"Ayah... Ibu... Sampai kapan tanganmu akan tetap menggenggam kedua tanganku?"
Bukan satuan hari lagi mereka melakukan hal itu. Sejak bertahun-tahun yang lalu ketika aku mulai melihat dunia, mereka selalu setia di sampingku. Di sini, di dalam bus sempit ukuran empat kali dua belas meter yang ringkih, mereka memelukku, menciumku. Bahkan meludahi aku, dibidani urat lehernya yang mengeras jika aku mencoba melepaskan genggaman tangannya.
Inilah tempat kelahiranku. Bus ekonomi berisi para musafir, fanatikan, dan fundamentalis memasrahkan dirinya. Bahkan para pendosa yang pura-pura mengantongi surga di balik saku bajunya. Semua bertawakal, semua pasrah sambil menikmati lembaran literatur yang diwariskannya dari banyak sambungan tangan ke tangan.
Detik demi detik berputar. Hari demi hari berganti. Satuan telah berubah menjadi puluhan. Ayah dan ibuku pun mulai melepaskan genggaman tangannya. Membiarkan aku keliaran di ruang bus, lalu-lalang kesana kemari sekedar melihat pemandangan jalan raya, atau bertanya-tanya pada penumpang, kondektur, dan supir bus yang tak sedikitpun pernah menolehkan kepalanya.
Aku lalu-lalang keujung dan kebelakang bis sambil mencari yang belum pernah aku temui. Memandangi kaca bus yang sudah tidak tembus pandang lagi karena ditutupi debu-debu yang semakin tua mengusam.
Dari belakang, perlahan aku ke depan mendekati sang supir. Langkah kakiku sedikit menggaduhkan suasana di dalam bus ini yang terbiasa dengan kesunyian.
"Pak, kita akan kemana?" Seloroh penasaranku meliarkan sayapnya di samping seorang supir yang sedang serius mengemudi.
"Surga." Jawabnya datar tanpa banyak penjelasan.
"Surga? Bukankah tidak ada satupun manusia yang tahu dimana letak surga?" Penasaranku semakin melebarkan sayapnya.
Namun, tak ada jawaban lagi dari sang supir. Diam dan fokus kedepan tanpa menoleh kearah ku sepersekian detikpun.
Aku menanyakan pertanyaan yang sama kepada si pengemudi. Tapi tetap tak ada jawaban. Lalu aku rebah di lantai yang dingin sambil memperhatikan seisi bus. Mataku menangkap dua orang kondektur berjaga di pintu depan dan belakang. Kondektur pertama berada di depan. Ia bertugas menghentikan bus jika ada orang di pinggir jalan yang tersesat dan mau naik. Kondektur kedua bertugas berteriak, berpidato seperti dakwah di setiap jalan yang dilaluinya.
Aku membangunkan badanku dari rebah. Dan kemudian mendekati kondektur pertama, seraya berkata, "mengapa pak supir tidak menjawab pertanyaanku?"
"Coba lihatlah supir itu. Sesungguhnya dia lebih tua dari Niniveh, lebih tua dari Spinx, lebih tua dari piramid, dan jelas lebih tua dari kau!" Jawabnya dengan tegas menusuk sayap-sayap penasaranku dengan sorot matanya yang menghunus.
"Tidak kah dia pernah lelah sepertiku? Tidak kah dia pun akan mati seperti layaknya manusia? Dan bukankah manusia tak dapat menjangkau surga dari dunia?" Aku melandaskan pertanyaan bertubi-tubi ke arah matanya.
"Dia memang sudah mati, tapi selalu ada pengganti. Mungkin juga nanti, kau akan menjadi si pengganti." Sahutnya dengan tenang dan kali ini tanpa tatapan mata.
Aku semakin bingung dengan apa yang ada. Ketidakjelasan menggerayangi jiwaku. Tidak ada yang beda disini. Semuanya sama. Semua melakukan hal yang sama.
"Hey anak kecil!" Ada suara tanpa muka, tanpa nama, memanggilku. Suara itu datang dari arah belakang.
Aku mendekatinya. Aku memeriksa satu persatu penumpang yang ada. Satu perdua bagian ruangan, sedang sibuk membuahi bibirnya tanpa suara sambil memangku buku yang sama.
Dan akhirnya aku mendapati suara itu di satu perdua bagian lainnya. Seorang kakek bertubuh dekil pun lusuh berparas keriput melambaikan tangan ke arahku, mengajak aku duduk bersama.
"Ada apa memanggilku pak tua?" Aku membuka pertanyaan.
"Aku melihatmu ketika sedari orang tuamu mulai melepaskan tangannya, kau sibuk lalu lalang di dalam bus ini. Apa yang sebenarnya kau ingin lakukan?" Kakek tua itu bertanya balik.
"Bebas! Ya, aku ingin bebas. Bebas mencari arti sendiri tanpa satupun yang terlewati. Bebas mencari apapun yang aku mau." Tegasku menyambut pertanyaannya.
"Bukankah kebebasan itu tidak ada? Sampai matipun kau tidak akan pernah bebas, anak muda!" Dengan frekuensi pelan, kakek itu coba membentakku.
"Bukankah jiwa itu bebas? Dia tak bisa terikat seperti leher. Dia tak bisa diborgol seperti tangan. Dia pun tak bisa dirantai dan diberi bandul besi seperti kaki. Seharusnya dia tidak terpenjara seperti di sini!" Aku menjelaskannya sambil melotot menusuk tatapannya yang kuyup membasah.
Mulai saat itu, menit permenit kosong tak terisi. Tidak ada respon darinya. Aku bertanya lagi, mengisi kekosongan, "wahai pak tua, sesungguhnya bis ini akan berhenti dimana?"
"Surga." Dia cepat-cepat menjawab, memotong pertanyaanku. Jelas dan tanpa ragu.
Aku bingung. Aku semakin melihat pak tua yang langsung tertidur setelah menjawab pertanyaanku tadi. Ia seperti bosan berbicara denganku.
"Pak tua, bangun pak tua!" Aku menyapanya sambil menggoyangkan badannya.
Tidak ada jawaban darinya. Dia tetap tertidur pulas. Aku bisa melihat dari nafasnya yang cukup ngilu.
"Bangun pak tua! Bangun!" Sedikit banyak aku membentaknya.
Tapi tetap tak ada jawaban. Sunyi, kosong, dan hampa.
Kemudian aku meninggalkannya. Lalu menghampiri ayah dan ibuku. Berdiri di depan tempat duduknya sambil berkata, "ayah, ibu, bus apakah ini?"
"Ini adalah bus jurusan dunia - surga, anakku. Nikmati saja perjalanannya. Mungkin memang membosankan, tapi jangan pernah kau melihat dunia. Karena dunia bisa mengalihkan, bahkan mungkin menyesatkan." Ibu menjawab pertanyaanku dengan lembut.
"Aku tidak mengenal bus ini, bu. Umurku sudah tertinggal jutaan tahun yang lalu dari hari ketika bus ini diciptakan. Aku benar-benar tak mengenalnya. Izinkan aku keluar dari bus ini untuk mencari bus-bus lain di luar sana. Atau mungkin aku akan berjalan kaki saja untuk menyusul ayah dan ibu di surga." Itu kalimat terakhirku sebelum aku membalik badan dan kemudian mengetuk kaca, pertanda aku ingin keluar dari bus ini
November 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar