Sebuah Catatan Harian, Lenteng Agung, Sore, 22 Desember 2012.
Ini seperti kita yang ingin makan bersama. Saat di mana kita
sama-sama lapar dan butuh makan, masih sempat-sempatnya kita berdebat panjang
tentang bagaimana cara memakan: dengan sendok, sumpit, atau tangan? Padahal
kita benar-benar seperti sekarat yang begitu nyata butuh makan bersama.
Kau menganggap kita harus memutuskan memilih dengan cara
yang mana. Ini soal etika, katamu. Tapi aku yang mungkin memang brengsek. Aku tak
peduli dengan cara apa kita memakannya. Aku hanya mengerti bahwa kita sama-sama
lapar, sama-sama butuh makan, dan oleh sebab itu, aku lelah dengan perdebatan
panjang yang malah membawa lupa akan kita yang lapar.
Kemudian saat melihat sekitar, kita mendapati orang-orang
makan bersama dengan sendok dan garpu, dengan sumpit, dengan tangan. Dinding-dinding
semakin jelas berteriak seolah-olah menuntut kita agar mengikutinya. Kita disergap
oleh dunia yang coba mengatur dan melibatkan dirinya pada kita.
Aku hanya tak peduli dengan cara. Aku hanya ingin kita makan
bersama, dengan bagaimanapun. Perdebatan hanya membuat kita saling menyalahkan,
saling memakan: kau makan aku, aku makan kau, saling mengalahkan. Bahkan kita
saling mencurangi satu sama lain. Itulah perdebatan panjang tentang hal yang
pendek, yang jauh lebih pendek dari kenyataan.
Pada akhirnya, sama seperti sebelumnya, kau dan aku terbawa
melupakan kenyataan bahwa kita sesungguhnya lapar dan butuh makan bersama. Kita terlupa. Dan pada saatnya teringat, kita hanya bisa tertunduk mengelus dada,
menahan lapar seharian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar