Sebuah catatan yang terinspirasi dari obrolan dengan Addis Nadira, tadi sore.
_________________________________________________________________
_________________________________________________________________
Aku pernah mendengar: dalam Islam, menafsir Quran dan Hadits
bukanlah hal sembarangan. Manusia tak boleh memaknainya asal-asalan. Umat Islam
harus memiliki metode-metode untuk melakukan penafsiran.
Kalau tidak keliru, salah satu metodenya disebut kontekstualitas. Metode
ini menganggap bahwa aturan-aturan yang turun dari langit selalu sesuai dengan
keperluan zaman di mana sebuah ayat diturunkan. Oleh karena itu, menafsirkannya
berarti memahami juga bagaimana konteks zamannya.
Tapi kau tak sepaham. Tuhan tak sedangkal itu, katamu. Tuhan Maha Mengetahui dan oleh karenanya, Ia mengerti rinci apa yang akan dan belum terjadi. Maka titah-Nya mutlak.
Aku hanya akan setuju denganmu jika aku memandang
Tuhan hanyalah milik agama-agama. Tuhan yang tak universal. Tuhan yang begini,
yang mutlak untuk agama ini. Tuhan yang begitu, yang mutlak untuk agama itu. Maka
izinkan aku membicarakan Tuhan dengan leluasa, dengan membebaskan Tuhan dari
kepemilikan agama-agama.
Hmmm… aku memulainya
dengan menganggap bahwa kita memang ditakdirkan
hanya mampu mengenal Tuhan melalui bahasa, sampai kapan pun. Tuhan yang
tertangkap kata-kata dan hal-hal visual, Tuhan yang terprediksi, terduga, dan
tuntas, Tuhan yang terbahasakan, Tuhan yang kita kenal.
Maka perlu kau ingat, beberapa waktu lalu, ramalan Suku Maya
sudah meleset. Itu adalah bukti bahwa kebenaran tak bisa diduga, meski coba dibahasakan.
Aku pikir, membicarakan Tuhan adalah membicarakan kebenaran.
Sebab itu, ketika kau membahasakan Tuhan dengan menganggap bahwa
Tuhan tak sedangkal apa yang mereka terjemahkan, pada saat itu juga kau malah mendangkalkan
Tuhan itu sendiri, Kasihku!
AKU SUDAH MATI NAK
BalasHapus