Nadira hanya ingin mengikat kedua benang hitam ini. Cukup satu ikatan. Satu ikatan yang menjadikannya sebuah garis panjang dan lurus membentang. Tapi bagaimana mungkin ia bisa melakukannya, jika dua helai benang itu berbentuk sebongkah bola yang rumit dan kusut seukuran kepala manusia?
Tak ada satu pun yang tahu, ini
malam ke berapa. Perempuan muda itu masih dengan seksama mengamati kerumitan
benang-benang di tangannya. Memegang ujungnya dengan kedua telunjuk dan ibu
jari, kemudian memasukkannya satu demi satu ke celah lubang dari ribuan bahkan
mungkin jutaan celah lubang yang tercipta dari rumitnya kekusutan.
Matanya terasa berat. Tapi ia tetap
menjaga kewarasan, menjaga kesadaran. Nadira tak lagi pernah tertidur. Ia
terjaga. Tak satu detik pun ia biarkan matanya lepas dari kerumitan ini. Tak
akan ia biarkan dirinya tertidur, sebelum kekusutan ini terurai.
Telinganya seperti tuli. Ia tak
lagi mendengar suara apapun kecuali degup jantung dan deru nafasnya sendiri.
Nadira tak mendengarkan lagi suara sapu lidi dan kicauan burung yang
menunjukkan pagi. Tak ia dengar lagi suara lengking tenggorokan orang-orang
yang menunjukkan siang. Tak ia dengar lagi suara hening yang menunjukkan malam.
Ia seperti hidup dalam dimensi yang
di dalamnya tak berlaku ruang dan waktu. Bahkan lapar pun tak lagi terasa.
Awalnya ia merasa ini seperti hukuman. Tapi kemudian Nadira menerima dan menikmatinya
seperti sebuah rutinitas keseharian. Lama kelamaan, tak ada yang aneh seluruhnya.
Siapa yang tahu: barangkali ini
malam ke tiga ratus lima puluh? Malam ke tujuh ratus ribu enam puluh satu? Atau
bahkan malam ke seribu dua ratus tujuh puluh juta dua? Tak ada yang tahu.
Bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Lebih tepatnya tak peduli. Namun ia masih
melakukan rutinitas itu: mengurai kekusutan benang-benang yang lebih tipis dari
helai rambutnya, juga seperti lebih panjang dari rambutnya yang seleher.
Kekusutan yang menyerupai ukuran kepala manusia.
Pada mulanya, waktu itu, sebongkah
bola yang terbentuk dari benang-benang kusut berwarna hitam ia temukan di kamarnya,
di bawah kasur. Nadira bingung. “Benda apakah ini? Dari mana datangnya? Mengapa
ada di sini?” pikirnya. “Bagaimana mungkin orang seteratur dan setertib diriku
bisa kecolongan? Bagaimana mungkin kamarnya bisa kemasukan benda yang tak jelas
ini? Sebuah bola hitam yang dibentuk dari benang-benang kusut? Hey, apa
maksudnya semua ini?”
Nadira, perempuan muda yang
menginginkan kesempurnaan. Segala sesuatunya ia perhitungkan dengan baik dan
matang. Ia tak pernah ingin hidup dalam dunia yang tak tuntas ia perhitungkan.
“Jangan-jangan ada yang masuk ke
kamar?” Nadira curiga. Tapi kecurigaan itu buru-buru ia jawab sendiri, “tak
mungkin. Aku selalu mengunci rapat pintu, menutup rapat jendela, dan bisa aku
pastikan, seluruh tembok maupun langit-langit kamarku tak bolong, apalagi
melebihi ukuran kepala manusia.” Tak ada alasan bagaiamana benda sebesar itu
bisa masuk.
Tak mungkin juga ada orang yang sengaja
menaruhnya. Nadira tinggal sendiri. Ia menyadari, dirinya tinggal di pusat kota
yang ramai, yang baginya, penuh ilusi kebersamaan. Itu sebabnya ia penyendiri.
Kamarnya selalu terkunci, dengan atau tanpa dirinya.
Nadira benar-benar tak tahu dari
mana datangnya benda ini. Ia sama sekali tak tahu apa-apa. Perempuan itu hanya
bisa terperangah. Ia tak menyangka betapa orang seteratur dan setertib dirinya
sempat lengah. Rasanya seperti berdiri tegak, dan tiba-tiba tulang punggungnya
patah. Rasanya seperti langit yang tiba-tiba runtuh. Matahari yang tiba-tiba
pecah. Roda yang tiba-tiba mencair. Rasanya, seperti segala yang tertata,
teratur, tersistem, terstruktur, tiba-tiba mendadak hancur lebur tanpa penyebab.
Entah berapa ribu juta ratus kali
ia coba mempertanyakan asal usulnya. Kemudian Nadira sadar dan pasrah, ia tak
bisa menjawabnya. Semakin ia pertanyakan, semakin tenggelam ia pada lautan
pertanyaan lainnya. Tak ada sedikit pun tanda-tanda sebuah jawaban.
Dengan sisa-sisa penasaran yang
tenggelam oleh pertanyaan-pertanyaannya, Nadira mengamati sebongkah benang
kusut ini. Ia melihatnya, mengelus-elusnya, menciumnya. Sehitam kesendirian,
selembut kesepian, dan sewangi keheningan. Beberapa jenak kemudian, ia
menemukan empat ujung pangkal benang dari bongkahan ini. Bongkahan ini
terbentuk dari dua helai benang yang kusut.
Meski ia tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya
sendiri, sisa-sisa penasarannya membawa dan membuat dirinya merasa terkait ke
dalam benda aneh di tangannya. Ketiadaan jawaban tak lantas membuatnya peduli
setan. Nadira pun memutuskan untuk menikmatinya. Menikmati sebuah
ketidakjelasan dengan mencoba mengurai kekusutannya. Ia bayangkan, seperti akan
memuaskan jika melihat dua helai benang ini menjadi satu ikatan yang lurus dan
panjang membentang, tanpa satu pun lubang yang membuatnya kusut. Lagi pula, ia
tak punya ide lain untuk menerima dan menikmatinya.
Sejak saat itu juga Nadira mulai
mengurainya. Pertama-tama, ia dengan seksama mengamati kerumitan benang-benang
ini, memegang ujungnya dengan kedua telunjuk dan ibu jari, kemudian memasukkan
ujung benang yang satu ke sebuah lubang. Sebuah celah lubang dari ribuan bahkan
mungkin jutaan celah lubang yang ada dalam kekusutan.
Kegiatan itu kemudian menjadi
kesehariannya, menjadi hidupnya. Entah sudah berapa lama. barangkali ini malam
ke tiga ratus lima puluh Nadira? Malam ke tujuh ratus ribu enam puluh satu?
Atau bahkan malam ke seribu dua ratus tujuh puluh juta dua? Ia tak peduli.
***
Kekusutan
di tangannya itu telah menemani Nadira melampui waktu-waktu hidupnya. Ia
menghabiskan pagi-siang-malam dengan bongkahan benang di tangannya. Bongkahan
benang itu juga menemaninya melihat setiap warna-warna langit. Ia bahkan
melewati kecemasan, kegelisahan, kegembiraan, serta semua perasaan yang tak
terjelaskan, bersama benang-benang kusut di tangannya.
Rutinitasnya yang tak pernah
berhenti itu membuat matanya lama-lama terasa berat. Tapi ia tetap menjaga
kewarasan, menjaga kesadaran. Kemudian ia terbiasa. Nadira tak lagi pernah
tertidur. Ia terjaga. Tak satu detik pun ia biarkan matanya lepas dari
kerumitan ini. Tak akan ia biarkan dirinya tertidur, sebelum kekusutan ini
usai.
Telinganya seperti tuli. Ia tak
lagi mendengar suara apapun kecuali degup jantung dan deru nafasnya sendiri.
Nadira tak mendengarkan lagi suara sapu lidi dan kicauan burung yang
menunjukkan pagi. Tak ia dengar lagi suara lengking tenggorokan orang-orang
yang menunjukkan siang. Tak ia dengar lagi suara hening yang menunjukkan malam.
Ia seperti sampai dibawa ke sebuah
hidup pada dimensi yang di dalamnya tak berlaku ruang dan waktu. Bahkan lapar
pun tak lagi terasa. Awalnya ia merasa ini seperti hukuman. Tapi kemudian
Nadira menikmatinya seperti sebuah rutinitas keseharian. Tak ada yang salah
dari ini semua.
Kini ribuan waktu telah ia tempuh.
Jutaan suara telah ia dengar. Lapisan warna telah ia rasa. Hidupnya ia habiskan
dengan mengamati sebongkah kerumitan yang ia nikmati. Matanya hanya terpaku pada
benang-benang di tangannya. Telinganya tak mendengarkan apa-apa kecuali degup
jantung dan nafasnya sendiri.
***
Barangkali ini malam ke tiga ratus
lima puluh Nadira? Malam ke tujuh ratus ribu enam puluh satu? Atau bahkan malam
ke seribu dua ratus tujuh puluh juta dua?Ia tak peduli.
Tak ada satu pun orang yang tahu
ini malam ke berapa. Tak ada satu pun orang yang mengerti semua ini di mana
ujungnya. Di kamarnya, perempuan itu hidup dalam sebongkah benang kusut
berbentuk bola seukuran kepala manusia. Telah begitu lama ia jalani
rutinitasnya, kekusutan itu tak juga terurai. Bongkahan benang itu kini malah
semakin rumit dan besar.
Sementara
langit di luar sudah menjadi asing. Pagi berwarna hijau, siang berwarna ungu,
dan malam berwarna abu-abu. Suara manusia terdengar seperti bunyi mesin. Mereka
tak lagi berbicara dengan bahasa manusia. Atap kamarnya robek seperti kain.
Dinding-dindingnya mencair. Cermin yang ia rekatkan di dinding itu mengambang
dan penuh debu-debu kecoklatan yang lengket. Sebuah dunia yang bukan semula,
yang bukan biasanya.
Kemudian ia berdiri mendekati cermin.
Dibersihkannya debu-debu di cermin itu dengan tangan kirinya. Tangan kanannya
tetap memegang bongkahan benang yang telah menyambung dengan rambutnya. Lalu ia
bercermin. Wajahnya semakin keriput. Tubuhnya semakin kurus. Tulangnya
membungkuk dan menipis. Rambutnya yang semula pendek, kini lebih panjang dari
tubuhnya sendiri. Helaian rambutnya itu bahkan bercampur dengan benang-benang
di tangannya. Hampir tak lagi bisa bedakan, mana rambut mana benang.
Nadira tak lagi mengenali dirinya
sendiri. Ia terperangah. Air mata menyembul pelan-pelan dari dua matanya.
Nadira tak menyangka, persis seperti kehabisan tenaga. Tangannya tak kuat lagi untuk menggenggam. Bongkahan benang di tangan kanannya itu pun terjatuh. Terjatuh tepat di
belakangnya. Tersambung dengan ujung rambutnya.
mantrap
BalasHapus