Di IISIP Jakarta, kampus saya, kabarnya ada beberapa dosen yang
tak akan memberi nilai A atau B kepada mahasiswanya. Isu yang beredar, menurut dosen-dosen tersebut, nilai A hanyalah
untuk Tuhan, B untuk dosen, dan C untuk mahasiswa. Saya tak percaya. Saya rasa, itu hanyalah sebuah jokes.
Ini Sabtu pertama di awal perkuliahan
semester genap. Di depan kelas, saya bergabung dengan tiga senior yang tengah
menunggu datangnya sesosok lelaki bertubuh besar dengan kepala sedikit gundul
dan memakai kacamata tebal. Lelaki itu Kristiyanto, dosen mata kuliah Penulisan
Pendapat, yang akan mengajar di kelas kami. Sialnya, salah seorang dari mereka
mengatakan, Kris adalah salah satu dosen yang hanya akan memberi -- paling bagus -- nilai C
kepada mahasiswanya. Saya pun gusar.
Terlebih lagi, saya mengingat perkataan teman saya, Rizky. Dia bilang, selama puluhan tahun Kris
mengajar, hanya ada satu mahasiswa yang pernah diberi nilai A. Mahasiswa itu
adalah Netty, perempuan yang kini juga menjadi dosen di IISIP. Rizky adalah mahasiswa Kris, semester kemarin.
Saya semakin penasaran, semakin
gusar. Apa itu benar? Kalau benar, bukankah usaha mahasiswa yang belajar
dengan sungguh-sungguh untuk menaikkan indeks prestasinya akan menjadi sia-sia? Lagi pula, sejak kapan Tuhan
mengikuti kuliah? Apakah namanya ini kalau bukan kesewenang-wenangan yang
didasari atas kepercayaan yang tak masuk akal? Lebih liar lagi: jangan-jangan karena
ia orang Jawa dan usianya tua, sehingga ia berlaku seperti itu? Oke, ini
stereotip dan generalisir yang membahayakan.
Lelaki yang kami tunggu tunggu itu pun datang.
Kelas dimulai. Kris menggeser bangkunya ke tengah kelas, mendekatkan jarak dengan mahasiswa. Sambil duduk dan memegang spidol di tangannya, ia mengenalkan
diri. Dulu ia sempat lama menjadi wartawan, katanya. Itu yang kemudian membuat
dirinya diminta menjadi dosen mata kuliah praktek. Pengenalannya begitu
singkat. Ia kemudian mempersilahkan kami untuk bertanya
mengenai dirinya.
Saya cepat-cepat angkat tangan
untuk konfirmasi mengenai isu penilaian yang tak masuk akal itu.
Mendengar pertanyaan saya, Kris menarik
nafas panjang dan menyenderkan punggungnya. Ia terdiam sebentar. Ada perubahan
ekspresi di wajahnya. Nampaknya ia bosan, barangkali pertanyaan itu sering ia
dapat.
Ia menjawab dengan tenang, sesekali memberi senyuman. Tapi saya tak begitu ingat detil
jawabannya. Kurang lebih, ia menjelaskan, ia tak ingin mahasiswa menjawab
pertanyaan ujiannya seperti jawaban anak SD. Analoginya, kalau pertanyaannya satu
ditambah satu, jawabannya hanya dua, itulah jawaban anak kecil. Mahasiswa tak
pantas menjawab seperti itu, katanya. Mahasiswa harus menjawab lebih rinci,
lebih detil, dan lebih terstruktur.
Kebanyakan mahasiswa menjawab
seperti jawaban anak kecil, katanya. Itu yang membuatnya sering memberi nilai
C.
Saat menjelaskan, tiba-tiba spidol di tangannya jatuh tak
begitu jauh dari kakinya. Lelaki 63 tahun itu sejenak berhenti. Kris yang
masih duduk, mendekatkan spidol itu dengan kaki, lalu mengambilnya. Setelah itu, ia kembali melanjutkan.
Selain jawaban yang rinci, Kris menginginkan penggunaan bahasa
yang tepat, yang komunikatif. Menurutnya, orang komunikasi harus merawat bahasa
dan menggunakannya dengan orientasi pada pemahaman komunikan.
Kris juga mengatakan, dirinya
selalu mencorat-coret mengoreksi jawaban ujian mahasiswanya. Ia ingin
menegaskan, dirinya punya dasar untuk memberi nilai. Meski begitu, ia mengakui, ada banyak mahasiswa yang tetap tak puas dengan penilaiannya. Ia sering mendapat protes. Mengenai hal tersebut, Kris menegaskan, dirinya siap diajak diskusi.
Tapi anehnya, ia tak pernah memberi nilai ujian di bawah empat, dan di atas delapan. Menurutnya, tak ada manusia yang benar-benar bodoh, atau benar-benar pintar.
Tapi anehnya, ia tak pernah memberi nilai ujian di bawah empat, dan di atas delapan. Menurutnya, tak ada manusia yang benar-benar bodoh, atau benar-benar pintar.
Di akhir penjelasannya, Kris menceritakan pengalamannya saat mengobrol dengan seorang Pendeta. Ia menyampaikan
kepada kami apa yang Pendeta itu sampaikan kepadanya, “mendengarkan itu lebih
susah dari pada bicara. Tapi cobalah belajar mendengar.”
Sementara di kelas lain, Dewi,
dosen Komunikasi antar Pribadi dengan jelas menegaskan kriteria penilaiannya. “Semua mahasiswa berhak mendapat nilai dari satu sampai 10, tergantung usahanya,” katanya. “Tuhan tak perlu diberi nilai. Tuhan tak pernah mengikuti kuliah.”
cerdas sekali :)
BalasHapus