Kamis, 01 Agustus 2013

Endgame: Lakon Skakmat yang Bukan Akhir

                                        Foto diambil dari twitter @killthedj

Selepas perang dunia II, setelah raksasa besar bernama Rasio menyebabkan negara-negara adikuasa dengan pongah dan serakah menggunakan nuklir dan segala teknologi mutakhir untuk ambisinya menguasai dunia, kemanusiaan mengalami tragedi darah dan air mata. Para seniman dan intelektual Perancis merasakan kembali ketakutan dan mimpi buruk.

Absurdisme kemudian banyak dipilih sebagai cara merefleksikan kenyataan. Samuel Beckett (1906-1989)penulis peraih Nobel kelahiran Irlandia yang menghabiskan separuh hidupnya di Prancis, membidani lahirnya sebuah lakon yang memukau berjudul Endgame (1957). Lakon ini bersama lakon Waiting for Godot, dianggap sebagai karya penting Beckett.

Endgame adalah lakon satu babak dengan empat tokoh yang masing-masing memiliki keganjilan fisik. Latarnya pun aneh. Di dalam sebuah rumah, ada dua tong sampah yang di dalamnya hidup manusia, lukisan yang diletakkan secara terbalik, dua jendela, serta sebuah tangga.

Bukan hanya situasi dan kondisi yang jauh dari kata logis, percakapan demi percakapan juga berjalan secara irasional. Kalimat perkalimat terdengar saling bertabrakan, bermusuhan, dan tak sejalan.

Pada tanggal 28-30 Juni lalu, di Salihara, Teater Garasi membawakan lakon tersebut dengan getir, pahit, tapi juga penuh humor. Lakon yang diterjemahkan Yudi Ahmad Tajudin itu disutradarai Landung Simatupang.

Dalam panggung, ada sebuah jendela yang tak lagi menampakkan kehidupan. Lautan, ombak, dan cahaya mercusuar tak juga tertangkap mata dari jendela yang lainnya. Hanya ada dua jendela –sudut– untuk menatap keluar. Suasana rasanya datar dan mati. Yang ada hanya suara tapak sepatu Clov, seorang pembantu yang sedikit keterbelakangan mental dan cacat fisik juga wicara.

Itulah situasi di mana Hamm, Clov, Nagg, dan Nell menjalankan kisahnya. Hamm adalah seorang majikan. Ia buta dan cacat kaki –tak bisa berdiri. Hidupnya dihabiskan di kursi roda. Clov, pembantunya, juga memiliki cacat. Ia tak bisa duduk, jalannya patah-patah seperti robot, dan bicaranya seperti keterbelakangan mental. Orangtua Hamm, Nagg dan Nell malah tak punya kaki. Mereka seumur hidup tak bisa bergerak, terjebak di dalam sebuah tong sampah.
Tapi keempatnya saling terkait. Mereka saling terikat. Hamm membutuhkan Clov untuk melayani permintaannya, memberikan obat penghilang rasa sakit, serta melibatkan dalam percakapan yang tak jelas arahnya. Clov sebenarnya muak dengan semuanya. Apalagi majikannya itu kerap membentak dan tak henti-hentinya memperbudak.

Namun ia tak bisa melarikan diri. Ia akan mati jika keluar dari rumah Hamm. Ia juga tak bisa membunuhnya. Karena cerita akan berakhir jikamereka terpisah. Satu-satunya cara adalah dengan tetap bersama. Sebab ia justru hanya “hidup” dalam kondisi tak bahagia itu. Kondisi yang tak bisa dimengerti.

Ketidakjelasan itu juga terjadi dalam percakapan-percakapan mereka. Salah satunya, ketika Hamm berbicara mengenai kepahitan, ketidakbahagiaan, dan kesia-siaan hidup, Clov menanggapinya dengan mengeluhkan kutu jembut di dalam celananya sambil memberi bedak. Tapi Hamm malah meresponnya dengan baik, “barangkali dari sana bisa muncul kemanusiaan!” Sebuah kegagalan komunikasi yang kontemplatif.

Sementara itu, Nagg terus merengek meminta bubur pada Hamm, anaknya, yang tak juga memberikan. Satu-satunya teman hidup adalah Nell, istrinya. Namun mereka berada dalam dua tong yang berbeda. Nagg meminta Nell mencium dan menggaruk punggungnya, tapi tak bisa. Tong sampah memberi jarak keduanya. Sama seperti Hamm dan Clov, mereka juga melakukan percakapan yang tak jelas arahnya.

Hidup seperti tak lagi menyediakan pilihandan tujuan seperti tak pantas dipertanyakan.

Mereka layaknya berada dalam sebuah kondisi skakmat. Pahit namun tak bisa lari kemana-mana. Padahal tak adalagi kemungkinanMereka kalah, tapi mereka tetap menolak pasrah atau mengakhiri hidup cepat-cepat. Mereka tetap menjalani perannya kuat-kuat sebisa mungkin, kendati tak membahagiakan. Serupa Sisipus, mereka tetap mendorong batu ke atas bukit, walau batu itu kemudian jatuh kembali. Mendorong lagi, dan jatuh lagi. Sebuah dunia yang sia-sia.

Menonton Endgame adalah melihat dunia pasca punahnya kebenaran. Ketika dunia tak lagi menyediakan pilihan mutlak tentang baik-buruk atau benar-salah, semuanya menjadi tak jelas. Fiksi dan narasi merupakan jalan pintas. Satu-satunya cara adalah menjalani apa yang kita percayai sebagai benar. Dan satu-satunya kesalahan adalah menganggap yang lain salah.

Tapi kenyataan tak pernah terdefinisikan. Kepercayaan tinggal kepercayaan. Fiksi dan narasi itu pada waktunya akan runtuh –ketika berhadapan dengan kenyataan.

Pencarian atas kebenaran mutlak adalah kesia-siaan. Kebosanan dan rutinitas mesti berjalan. Sebab hidup harus terus ditempuh. Fiksi dan narasi –yang rapuh itu– harus tetap dicipta. Ia kayu yang hendak dijadikan bara, meski padam setelah menyala.

1 komentar: