Foto: Camillia S Tyas
Tak ada mobil yang lepas dari lambaian tangannya. Meski siang itu matahari mendidih, tangan kanannya terus melambai ke arah para pengemudi mobil di tepi jalan pintu masuk kawasan Taman Safari, Cisarua, Bogor. Sedangkan tangan kirinya memegang wortel. Cuaca panas tak membuatnya pasrah. Matanya tetap awas. Ia siaga terhadap setiap mobil yang lewat. Dan persis di sebelahnya, wortel-wortel berjajar dan sesekali disiram agar tetap segar.
Muti namanya. Ia siswi kelas lima SD Cibereum. Usianya baru 10 tahun. Sebagai
penjual wortel, memang Ia tak sendirian. Tapi Ia satu-satunya pedagang yang
menggunakan baju putih dan rok merah, seragam SD. Tubuhnya kurus, kulitnya
coklat, dan rambutnya diikat. Orang-orang mengenalnya pendiam, tak banyak
bicara.
Ketika lambaian tangannya berhasil menghentikan satu pengendara mobil,
Ia buru-buru mendekatinya. Pengemudi mobil itu membeli tiga ikat wortel seharga
10 ribu rupiah. Uangnya 20 ribu. Muti tak punya kembalian. Lalu Ia cepat-cepat
menukar uang ke sebuah warung di dekatnya.
Muti tinggal di desa Lembah Duhur. Dari tempatnya berjualan, desa itu
berjarak sekitar satu jam jalan kaki. Kini sudah setahun Ia menjalani rutinitas
sebagai penjaja wortel. Karena berjalan kaki, “awalnya sih capek banget,” kata gadis
pendiam itu. “Tapi lama-lama terbiasa.”
Muti menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menjajakan wortel. Senin
sampai Jumat, Ia berjualan dari jam 12 siang hingga enam sore. Kalau Sabtu dan
Minggu, Ia berdagang dari jam tujuh pagi sampai jam enam sore, karena
sekolahnya libur. Dari pekerjaan inilah Muti mendapat uang jajan. “Bisa bantu
ibu juga,” katanya.
Biasanya, tepat saat sekolah bubar, Ia langsung pulang ke rumah.
Setelah meletakkan tas dan mencopot sepatu, Muti langsung bergegas ke tempatnya
berjualan.
Sore hari, selepas berjualan wortel, Muti menjaga adiknya yang masih
berusia satu tahun, di rumah. Ia kemudian mengaji, belajar, lalu tidur sampai
jam lima pagi untuk sholat dan berangkat ke sekolah yang juga berjalan kaki.
Muti anak ke dua dari tiga bersaudara. Adik Muti baru berumur satu
tahun. Kakaknya kelas dua SMP. Muti sempat mengajak kakaknya berjualan wortel.
Tetapi kakaknya menolak. “Dia malu,” gadis lugu itu menjawab singkat.
Orangtua Muti sebenarnya petani wortel. Tetapi ayah Muti lebih memilih
menjual wortelnya ke penyetor. Itulah yang membuatnya terpaksa menjual wortel
milik orang lain.
Tapi Muti juga tak selalu dapat menjajakan wortel. Ia berkerja hanya
saat diminta pemilik wortel menjajakan wortelnya. Sofi adalah salah satu
pemilik wortel yang berlangganan mempekerjakan Muti.
Ketika ditemui, Sofi
tengah duduk di bangku kayu, seberang tempat Muti berjualan. Ia sedang mengamati
Muti sambil memainkan handphonenya. Kalau perempuan berjilbab dan berkulit
putih itu sedang ingin menjajakan wortelnya sendiri, katanya, “Muti cuma jualan
plastik keresek aja”.
Pembeli plastiknya tak dipatok harga tertentu. Nilai satu plastik
kereseknya bergantung pada keikhlasan pembeli. Satu plastik kereseknya berharga,
“seikhlasnya aja,” kata Muti. “Paling besar sih orang ngasih 10 ribu.”
Muti sedih bila harus berjualan plastik keresek. Sebab jarang sekali
orang membutuhkan plastik keresek. Jadi Muti akan lebih banyak mendapatkan uang
bila berjualan wortel.
Kata Sofi, Muti orang yang pendiam. Tetapi diam tak berarti malas. Sofi
mengakui, “dia orang yang semangat.” Itu sebabnya Sofi memilih Muti menjajakan
wortelnya. Selain karena semangatnya, “pengunjung biasanya lebih tertarik
membeli wortel dari anak-anak kecil,” ungkap Sofi. “Apa lagi kalau ke
arab-arab-an.”
Dari usahanya berjualan wortel selama setahun, Muti paling banyak
mendapatkan 30 ribu sehari. Uang yang ia dapatkan kemudian dibagi tiga. Kalau
dapat 30 ribu, Muti memberi 10 ribu untuk ibunya, 10 ribu untuk jajan, sisanya
untuk ditabung.
Muti mengakatan, kini tabungannya sudah 120 ribu rupiah. Tabungan itu,
“buat beli sepeda,” ucapnya. Saat SMP nanti, Muti berharap, dia sudah bisa
membeli sepeda dari tabungannya. Muti tak ingin berjalan kaki. Dia ingin
bersepeda ke sekolah. Dia ingin sepeda membantunya, dalam menjual wortel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar