Lia Eden diolok-olok banyak orang karena ia percaya Jibril akan
datang dengan UFO di taman Monas. Di media massa daring, kepercayaannya itu
membuat orang-orang dari berbagai latar belakang agama berkomentar: Lia orang
yang goblok, tolol, dan dungu. Tak hanya itu, di Facebook, keimanan Lia membuat
beberapa sastrawan dan akademisi turut menyebut Lia adalah orang yang tidak
waras, edan, dan gila.
Saya juga melihat dan mendengar langsung teman saya tertawa ketika
berbicara mengenai hal itu. Tetapi bagi saya, dari pada reaksi atas sesuatu hal
yang lucu, tawa teman saya lebih terasa sebagai olok-olok, malah terkesan
seperti cara rapih menyamarkan antipati.
Lia Eden dianggap gila karena keimanan membuatnya
menghubung-hubungkan antara Jibril, UFO, dan Monas. Orang-orang tidak bisa
menerima kemungkinan malaikat Jibril naik piring terbang bernama UFO, apalagi
turun di Monas.
Orang-orang menganggap itu tidak bisa diterima akal sehat atau
tidak masuk akal. Dengan kata lain, orang-orang menganggap, hanya orang yang
gila yang percaya hal irasional semacam itu.
Tetapi, sejak kapan keimanan adalah hal yang rasional? Bukankah
justru karena irasional, kepercayaan bisa mendapatkan pengikut dan bahkan mempu
membuat orang-orang menjadi patuh?
Seluruh keimanan sebenarnya memiliki irasonalitasnya
masing-masing. Teman saya Heri mengatakan, tahyat akhir pada shalat sebenarnya
juga tidak masuk akal. "Ngapain coba, duduk, ngelipet kaki, nunjuk, lalu
tengok kanan-kiri?" kata Heri, seorang Islam.
Tidak hanya itu, teriak-teriak sehari lima kali dengan bahasa Arab
menggunakan toa -- apalagi bervolume lebay -- juga bukan hal yang masuk akal.
Hal tersebut sama tidak masuk akalnya dengan minum-minum anggur di
rumah Ibadah, ngomong dengan bilik untuk menghapus dosa, dan mencambuk-cambuk
punggung sendiri.
Itu hanya beberapa contoh saja. Anda bisa temukan sendiri contoh
lain yang membuktikan bahwa seluruh kepercayaan selalu menyimpan irasonalitas.
Tetapi ya memang begitulah kepercayaan. Lalu untuk apa menganggap
orang lain gila hanya karena kepercayaannya? Toh, sama-sama menjalani hidup
dalam hal yang tidak masuk akal. Buat apa saling menghakimi keimanan? Toh,
sama-sama gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar