Rabu, 10 Juni 2015

Iman dan Kegilaan

Lia Eden diolok-olok banyak orang karena ia percaya Jibril akan datang dengan UFO di taman Monas. Di media massa daring, kepercayaannya itu membuat orang-orang dari berbagai latar belakang agama berkomentar: Lia orang yang goblok, tolol, dan dungu. Tak hanya itu, di Facebook, keimanan Lia membuat beberapa sastrawan dan akademisi turut menyebut Lia adalah orang yang tidak waras, edan, dan gila.

Saya juga melihat dan mendengar langsung teman saya tertawa ketika berbicara mengenai hal itu. Tetapi bagi saya, dari pada reaksi atas sesuatu hal yang lucu, tawa teman saya lebih terasa sebagai olok-olok, malah terkesan seperti cara rapih menyamarkan antipati.

Lia Eden dianggap gila karena keimanan membuatnya menghubung-hubungkan antara Jibril, UFO, dan Monas. Orang-orang tidak bisa menerima kemungkinan malaikat Jibril naik piring terbang bernama UFO, apalagi turun di Monas.

Orang-orang menganggap itu tidak bisa diterima akal sehat atau tidak masuk akal. Dengan kata lain, orang-orang menganggap, hanya orang yang gila yang percaya hal irasional semacam itu.

Tetapi, sejak kapan keimanan adalah hal yang rasional? Bukankah justru karena irasional, kepercayaan bisa mendapatkan pengikut dan bahkan mempu membuat orang-orang menjadi patuh?

Seluruh keimanan sebenarnya memiliki irasonalitasnya masing-masing. Teman saya Heri mengatakan, tahyat akhir pada shalat sebenarnya juga tidak masuk akal. "Ngapain coba, duduk, ngelipet kaki, nunjuk, lalu tengok kanan-kiri?" kata Heri, seorang Islam.

Tidak hanya itu, teriak-teriak sehari lima kali dengan bahasa Arab menggunakan toa -- apalagi bervolume lebay -- juga bukan hal yang masuk akal.

Hal tersebut sama tidak masuk akalnya dengan minum-minum anggur di rumah Ibadah, ngomong dengan bilik untuk menghapus dosa, dan mencambuk-cambuk punggung sendiri.

Itu hanya beberapa contoh saja. Anda bisa temukan sendiri contoh lain yang membuktikan bahwa seluruh kepercayaan selalu menyimpan irasonalitas.

Tetapi ya memang begitulah kepercayaan. Lalu untuk apa menganggap orang lain gila hanya karena kepercayaannya? Toh, sama-sama menjalani hidup dalam hal yang tidak masuk akal. Buat apa saling menghakimi keimanan? Toh, sama-sama gila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar