Only Love Can Break Your Heart, lagu The Sigit yang saya temukan di folder kakak saya ini, membuat saya terhenti ketika sedang membaca review Explosions in the Sky di sebuah website. Lagu tersebut membuat saya termenung mengartikan liriknya, tentang cinta yang dapat menghancurkan hati seseorang. Ya, memang cinta sangat mampu menghancurkan hati seseorang. Dalam kata ‘cinta’, beberapa orang yang mungkin sedang dilanda euforia awal pacaran, menganggap itu adalah sebuah akronim dari ‘Cerita Indah Nan Tanpa Akhir’.
Indah? Pada umumnya, tak banyak dari kita yang menganggap sebuah kehancuran, kesedihan, kekalahan, kemarahan, kebencian, adalah sebuah keindahan. Biasanya orang menganggap, keindahan adalah suatu entitas yang tak terpisahkan dari apa yang disebut kebahagiaan–tentunya dalam perspektif kebahagiaan dari masing-masing individu tersebut.
Dalam sebuah resensi buku Against Happiness, sang penulis, Taufiqurrahman, menganggap obsesi akan kebahagiaan hanya akan membawa kita lupa kepada dunia yang secara alamiah ditakdirkan untuk tidak cantik, dan besensi dari kehidupan dan kosmos adalah campur aduk, buram, kontradiktif, dan tidak berpola. Apa yang disebutnya itu, saya pikir cukup dapat menjawab pertanyaan tentang saya yang terkadang merindukan sebuah situasi yang sebenarnya tidak saya inginkan–sebuah kekalutan, pergulatan pikiran, kegalauan, dan kekalahan akan kenyataan. Memang kontradiktif. Namun untuk memikirkan lalu menjelaskan lebih lanjut tentang kerinduan saya yang berlawanan dengan ketidakinginan saya, bukan saat ini waktunya, mungkin sesudah ini.
Jika saya menempelkan ‘cinta’ pada sebuah kebahagiaan, saya pikir tak satupun dari kita ada yang menolak. Tapi cinta yang bahagia itu akan berbalik hinggap pada kesedihan ketika tidak dapat mencapai sebuah kebahagiaan. Sebelumnya, mari kita simak kutipan lirik lagu berikut yang sebenernya tidak begitu perlu untuk dimuat di sini:
Marjinal – Cinta Pembodohan
Pada stress dan ga sedikit yang gila
Mati
Minum racun serangga,
Gantung diri di pohon jengkol,
Nubrukin badan ke bis kota yang sedang mangkal,
Lompat-melompat dari gedung bertingkat,
Karena cinta.
Demi cinta.
Tak bisa ditampik, memang lirik lagu itu adalah meceritakan kejadian yang ada di sekitar kita. Tapi bagi saya, cinta–termasuk cinta di lirik lagu tersebut–bukan hanya berlaku kepada lawan jenis saja. Tetapi juga berlaku dalam banyak bagian-bagian dari kehidupan seperti pekerjaan, uang, perempuan, hobi, dan macam-macamnya. Tidak lain dan tidak bukan, kecintaan tersebut pada dasarnya adalah sebuah jalur menuju kebahagiaan. Tapi ketika kebahagiaan tersebut tak kunjung didapatkan, maka yang ada malah berubah menjadi kegalauan, kekalutan, kesedihan, dan khususnya kekecewaan.
Tak sedikit orang yang mengonsumsi narkoba untuk mendapatkan kebahagiaan dari kekalutan pikiran yang sedikit demi sedikit menggerogoti kehidupannya. Banyak orang yang jadi gila, mencoba meminum racun, gantung diri di pohon jengkol, dan macam jenis bunuh diri lainnya, dikarenakan kecintaanya terhadap hidup yang ironisnya malah tak kunjung menghantarkannya pada kebahagiaan. Korupsi, perampokan, dan tindakan kriminalitas lainnya terpaksa dijadikan jalur menuju kebahagiaan bagi banyak sebagian orang banyak ketika ia tak lagi merasa punya pilihan lain untuk mencapai kebahagiaan yang mereka inginkan. Memang banyak faktor untuk mengetahui motif dasar para pelaku kriminal dalam perbuatan kriminalnya. Tapi menurut saya, keinginan menuju kebahagiaan adalah faktor yang paling mendasar bagi semua tindakan kriminalitas. Hahaha…
Kebahagiaan adalah sesuatu yang ideal yang ada dalam pikiran dari masing-masing individu. Lalu, mengapa biasanya banyak kesamaan dalam ke-ideal-an dari banyak orang-orang? Karena, mengapa kebanyakan dari kita lebih suka bercinta dengan perempuan yang berkulit putih, langsing, dan ‘cantik’? Karena, ada yang mencuciotak kita bahwa cantik itu begini, cantik itu begitu. Sexy itu begini, sexy itu begitu.
Maka berhentilah mendefinisikan kebahagiaan. Berhentilah obsesif menuju kebahagiaan jika sudah bisa mendefinisikan kebahagiaan. Karena John Lennon, Bruce Springsteen, Beethoven, penyair besar Inggris William Keats, William Blake, serta penulis buku Moby Dick Herman Melville dapat menghasilkan karya-karya besar bukan di dalam kebahagiaan, tapi di dalam kesedihan. Dan kalau memang hasil dari sebuah ketidak-bahagiaan akan menghasilkan karya-karya seperti mereka, maka saya akan dengan keras hati menjauhi apa yang disebut ‘kebahagiaan’.
Menuju kebagiaan, adalah menuju kesedihan?
2 Juli 2010, jam dua pagi, Pamulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar