“Elo ga perlu lagi ke Kemang! Ga perlu lagi ke mana-mana. Cukup di pamulang udah ada tempat yang kayak gini. Jadi elo ga perlu kena kemacetan Jakarta” kata seorang dari dua orang MC wanita pada malam itu.
Malam semakin larut. Satu persatu orang turutserta menghadiri pertunjukan di pembukaan sebuah tempat makan. Yang merangkul bahu pacarnya, yang datang ramai-ramai bersama temannya, hingga yang sendirian. Yang Protestan, Katolik, Islam, bahkan atheis. Segala yang ada pada Kartu Tanda Penduduk, tak pernah menjadi masalah. Karena saya melihat beberapa anak yang jika ditelusuri dari keriput dan mimik wajahnya, bisa saya tebak kalau mereka belum memiliki kartu tanda penduduk. Ya, pertunjukan itu tidak mengenal identitas, kecuali uang. Apa guna identitas?
Memang, untuk masuk ke halamannya – tempat pertunjukan – tak perlu mengeluarkan biaya. Padahal, beberapa band yang akan bermain di pertunjukan itu, bisa disebut sebagai bang yang sudah cukup terkenal. Bahkan sangat terkenal. Bagaimana bisa semua penonton menyaksikan dengan cuma-cuma? Dengan gratis tanpa dipungut biaya?
Saya sadar, semua pertunjukan yang menawarkan kesenangan itu hanyalah ilusi. Semua itu tidak lain hanyalah trik untuk menarik massa dan memperkenalkan tempat makan baru yang berada di sekitar pertunjukan.
“Elo ga perlu lagi ke Kemang! Ga perlu lagi ke mana-mana. Cukup di pamulang udah ada tempat yang kayak gini. Jadi elo ga perlu kena kemacetan Jakarta”, kata seorang dari dua orang MC wanita pada malam itu – memperkenalkan tempat yang telah membayarnya untuk dipekerjakan sebagai pembawa acara.
Dengan kesenangan yang gratis, maka akan banyak menarik massa, sehingga kemungkinan keuntungan para pemilik modal pun akan semakin banyak. Dan tempatnya tidak hanya terkenal pada malam itu. Karena dari sekian banyak massa yang datang, memiliki kemungkinan untuk besok datang lagi. Lebih banyak, lebih banyak, lebih banyak lagi! Gratis! Kecuali makan! Dan mungkin juga duduk. Jika mereka makan, maka mereka bayar, dan maka mereka duduk. Duduk seperti tidak gratis. Duduk seperti bayar. Karena tempat duduk di sana hanya tersedia untuk mereka yang membeli makanan. Tak ada tempat duduk yang layak kecuali di tempat makan itu. Dan siapa yang telah membuat kita malu untuk “tidak numpang duduk” di tempat makan itu tanpa membeli? Siapa yang menciptakan gengsi di antara kita untuk tidak berdiri, dan memilih duduk dengan membeli? Bukan kah uang seperti identitas? Medikotomikan antara yang punya uang dan tidak punya uang, kemudian kita semakin mengerti tentang makna diskriminasi.
Pamulang, 7 Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar