“…seperti menatap sebuah potret dalam bingkai. Sebuah potret, tentu bukanlah realitas sebenarnya. Ia adalah realitas citra.” – Acep Iwan Saidi dalam Surat untuk Presiden (SBY), kompas.com, 23 Februari 2012.
Ia dipukuli, dianiaya, diolok-olok. Lingkungan sekitar tak menerima dirinya, seorang laki-laki remaja berkulit putih yang pendiam dan cenderung anti-sosial.
Laki-laki itu Andrew Detmer (Dane DeHaan). Ia digambarkan memiliki kepribadian introvert, yang hanya pasrah ketika teman-teman kampusnya menganiaya. Andrew juga sering dibentak, bahkan dipukuli ayahnya. Namun ia tak bisa apa-apa. Ia seolah kehilangan kuasa atas dirinya.
Andrew berniat merekam semua kejadian yang terjadi dengan kamera yang dibelinya. Ia merekam pemukulan yang dilakukan ayahnya, pengeroyokan teman kampusnya, juga kekerasan yang dilakukan orang asing yang direkamnya pada sebuah pesta. Kamera itu menjadi saksi kekalahannya atas kenyataan. Kamera itu merekam dan pada gilirannya, menyajikan sejarah dirinya: citra beserta ketidakmampuannya.
Namun suatu ketika, ia dan dua orang temannya menemukan sebuah lubang misterius. Lubang yang besar, gelap, dan menyusur ke bawah tanah. Mereka masuk ke dalam sambil merekamnya. Lubang tersebut memberikan mereka kekuatan telekinetik: suatu tenaga yang mampu menggerakkan dan menggetarkan benda.
Dengan kekuatannya, mereka bersenang-senang. Mereka juga kerap menjahili, bahkan mencelakakan orang. Semuanya terekam dalam kamera Andrew. Di sini, citra dirinya pada kamera mulai berubah karena “suatu hal”, telekinetik.
Cerita pun mulai berubah. Andrew yang awalnya tak memiliki kuasa apa-apa, kini mampu berbuat apapun: ia mulai berani melawan ayahnya, merampok dan mencederai teman-teman kampusnya.
Ia tak terkendali. Seolah hendak membalas dendam pada kenyataan, ia menyebut dirinya seperti apa yang disebut Plato “Apex Predator”. Ia menguasai segalanya. Ia membunuh citra dirinya sendiri dengan menjadi apa yang tak pernah terbayangkan oleh lingkungan sekitarnya.
Di akhir cerita, Andrew yang lepas kontrol hingga menghancurkan kota, mati dibunuh oleh Matt, sepupunya. Matt kemudian pergi ke Tibet -- tempat di mana Andrew ingin menuju -- merekam dirinya sendiri dan menyampaikan pesan ke pada Andrew, lewat kameranya.
Film yang disutradarai Josh Trank ini menggunakan teknik Found Footage, sebuah teknik penceritaan seperti film-film dokumenter yang mengabaikan konstruksi emosi melalui musik dan pencahayaan. Dengan biaya produksi hanya sebesar US$ 15 juta, Trank cukup mampu menunjukkan efek visual yang emosional.
Dengan beberapa plot yang bertele-tele dan tak menceritakan apa-apa, film yang fokus pada kehidupan Andrew ini hendak menyampaikan bahwa kenyataan adalah hal-hal yang melampaui citra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar