“Lelaki... dan, lelaki... dan perempuan...” di
sisi panggung seorang perempuan memulai monolog menggunakan standing mic.
Wajahnya datar, tapi seperti memendam hasrat. Maka dibelainya standing mic itu
dengan jari-jari tangannya pelan-pelan.
Tak lama, dua laki-laki datang. Perempuan itu
mengontrol permainan dengan monolognya. Dikepung dua dinding penuh sorotan lampu
yang saling berhadapan, bulir-bulir keringat dengan cepat menyembul dan mengucur dari tubuh
mereka.
Warm berkisah mengenai dua lelaki yang dikendalikan,
dikuasai, dan dinikmati di dalam mimpi perempuan muda. Perempuan tersebut diperankan Ine Febriyanti. Sementara dua lelaki diperankan Edward
Aleman dan Wilmer Marquez.
Selama satu jam penuh, cahaya panas menyinarinya.
Dua laki-laki terus menerus memperlihatkan kosa gerak akrobatik sebagai
simbolisasi atas hasrat, mimpi, dan fantasi seksual yang dimantrakan perempuan itu. Detik demi
detik semakin riskan. Si perempuan semakin menggebu mengungkapkan jiwanya. Tempo
permainan bertambah cepat. Gerakan-gerakan mereka menantang keseimbangan, di antara keringat dan
kehausan.
Tapi keringat bukanlah penghalang di
pertunjukkan ini. Kelompok Rictus justru menjadikannya sebagai elemen penting
untuk menghasilkan sebuah emosi. Hal tersebut nampak ketika dua lelaki
melakukan gerakan yang sulit dan rumit: keduanya beberapa kali terlihat keras
mempertahankan tubuhnya yang nyaris terjatuh, bahkan sempat terjatuh karena
licin keringat di badannya.
Panasnya ruangan
Ketika memasuki gedung pertunjukan Teater Salihara (15/6), penonton diberikan sebotol
air putih. Di dalam, tak seperti biasanya: pendingin ruangan tak menyala.
Ruangan terasa panas pekat. Air putih itu dipersiapkan untuk menggantikan
keringat yang mengucur. Sontak hampir seluruh penonton mencari lembaran kertas
untuk disulap menjadi kipas.
Seorang penonton berujar, “namanya juga Warm.”
Lampu padam. Di panggung, dua dinding penuh
lampu yang saling berhadapan menyala. Nyaris sepanjang pementasan penonton menikmati pertunjukan sambil kipasan.
Tapi nampaknya kondisi panggung lebih panas dari bangku
penonton. Itu karena puluhan lampu-lampu yang tak sebentar pun berhenti
menyorot. Buktinya terlihat dari keringat-keringat yang mengucur deras dari
para pemain.
Selepas pertunjukan, David Bobee sang
sutradara mengizinkan penonton merasakan panasnya lampu-lampu yang membakar panggung. Dengan
memegang sebotol air putih, aku pun mencobanya. Tapi belum sampai semenit panas
sudah terasa ganas. Aku menyerah berlama-lama.
Saat keluar dari gedung pertunjukan, udara malam itu rasanya begitu dingin. Padahal, itu karena aku sebelumnya merasakan kondisi yang jauh lebih panas. Aku masih haus. Lalu kubuka botol air minum tadi. Rupanya botol itu ikut panas. Air yang kuminum pun menjadi hangat.
Ini videonya: klik.
Ini videonya: klik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar