Senin, 24 Juni 2013

Yang Kuingat Saat Nonton Warm

“Lelaki... dan, lelaki... dan perempuan...” di sisi panggung seorang perempuan memulai monolog menggunakan standing mic. Wajahnya datar, tapi seperti memendam hasrat. Maka dibelainya standing mic itu dengan jari-jari tangannya pelan-pelan.

Tak lama, dua laki-laki datang. Perempuan itu mengontrol permainan dengan monolognya. Dikepung dua dinding penuh sorotan lampu yang saling berhadapan, bulir-bulir keringat dengan cepat menyembul dan mengucur dari tubuh mereka.

Warm berkisah mengenai dua lelaki yang dikendalikan, dikuasai, dan dinikmati di dalam mimpi perempuan muda. Perempuan  tersebut diperankan Ine Febriyanti. Sementara dua lelaki diperankan Edward Aleman dan Wilmer Marquez.

Selama satu jam penuh, cahaya panas menyinarinya. Dua laki-laki terus menerus memperlihatkan kosa gerak akrobatik sebagai simbolisasi atas hasrat, mimpi, dan fantasi seksual yang dimantrakan perempuan itu. Detik demi detik semakin riskan. Si perempuan semakin menggebu mengungkapkan jiwanya. Tempo permainan bertambah cepat. Gerakan-gerakan mereka menantang keseimbangan, di antara keringat dan kehausan.

Tapi keringat bukanlah penghalang di pertunjukkan ini. Kelompok Rictus justru menjadikannya sebagai elemen penting untuk menghasilkan sebuah emosi. Hal tersebut nampak ketika dua lelaki melakukan gerakan yang sulit dan rumit: keduanya beberapa kali terlihat keras mempertahankan tubuhnya yang nyaris terjatuh, bahkan sempat terjatuh karena licin keringat di badannya.

Panasnya ruangan

Ketika memasuki gedung pertunjukan Teater Salihara (15/6), penonton diberikan sebotol air putih. Di dalam, tak seperti biasanya: pendingin ruangan tak menyala. Ruangan terasa panas pekat. Air putih itu dipersiapkan untuk menggantikan keringat yang mengucur. Sontak hampir seluruh penonton mencari lembaran kertas untuk disulap menjadi kipas.

Seorang penonton berujar, “namanya juga Warm.”

Lampu padam. Di panggung, dua dinding penuh lampu yang saling berhadapan menyala. Nyaris sepanjang pementasan penonton menikmati pertunjukan sambil kipasan.

Tapi nampaknya kondisi panggung lebih panas dari bangku penonton. Itu karena puluhan lampu-lampu yang tak sebentar pun berhenti menyorot. Buktinya terlihat dari keringat-keringat yang mengucur deras dari para pemain.

Selepas pertunjukan, David Bobee sang sutradara mengizinkan penonton merasakan panasnya lampu-lampu yang membakar panggung. Dengan memegang sebotol air putih, aku pun mencobanya. Tapi belum sampai semenit panas sudah terasa ganas. Aku menyerah berlama-lama.

Saat keluar dari gedung pertunjukan, udara malam itu rasanya begitu dingin. Padahal, itu karena aku sebelumnya merasakan kondisi yang jauh lebih panas. Aku masih haus. Lalu kubuka botol air minum tadi. Rupanya botol itu ikut panas. Air yang kuminum pun menjadi hangat.

Ini videonya: klik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar